MOVERE

Kreativitas dalam penciptaan karya seni adalah sebuah proses dialektis yang tak pernah netral. Ia adalah proses panjang pergulatan pemikiran seniman atas dunia dan kenyataan yang dihadapinya. Tak mengherankan jika pengalaman artistik yang ditawarkan seniman bersama karyanya selalu memiliki daya gempur yang mampu mengguncang pemahaman kita atas kenyataan dunia. Rollo May, seorang psikolog eksistensial, dalam 'The Courage to Create' (1994) mengatakan bahwa sebuah proses dialektis terus-menerus berlangsung ‘antara dunia dengan manusianya’ dan ‘antara manusia dengan dunianya’; yang satu mempengaruhi yang lain sehingga tidak akan tercipta suatu pemahaman utuh jika salah satunya dihilangkan. Dalam perspektif tersebut, dapat dipahami bahwa karya seni sejatinya memiliki kekuatan untuk mengubah hubungan dunia dan diri pada satu pemahaman yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Demikian sehingga momentum perjumpaan antara seni dan masyarakat menjadi penting untuk terus diciptakan, salah satunya melalui peristiwa pertunjukan. 

Situasi dunia tak akan pernah baik-baik saja. Sangat beragam hal-hal yang tidak dapat diterjemahkan dengan akal dan murni hanya dapat dirasakan. Di tengah percepatan dunia hari ini, fungsi dan posisi peristiwa pertunjukan justru menjadi semakin penting. Pertunjukan menjadi jeda temporal dari riuh sesak banjir informasi dan kenyataan yang berlintas dengan cepat (post-truth). Sebuah pertunjukan selalu menawarkan sesuatu yang memiliki daya untuk merobek serta melepaskan kita dari kekang keberadaan, namun di saat yang sama juga menghubungkannya kembali ke keseluruhan dari keberadaannya. Oleh karena itu, pertunjukan akan selalu menjadi sebuah bahasa baru untuk dialami.

Dalam mengalami bahasa yang baru, pertunjukan menawarkan ruang dialektis yang menginisiasi percakapan. Pada taraf tertentu, ia tak lagi berfungsi sebagai inisiator, namun menjadi sesuatu ‘yang menggerakan percakapan’ pada kualitas paradigma yang kritis. Kualitas semacam ini tentunya tidak tercipta melalui proses yang singkat. Namun merupakan hasil konsistensi kreatifitas seniman yang menantang risiko dengan penuh keberanian dan secara sadar terus-menerus membangun dialog di ruang sosial. Proses dan pencapaian itulah yang tercermin dalam karya-karya pertunjukan yang hadir tahun ini. 

Bertumpu pada praktik penciptaan kolektif, Teater Garasi (Garasi Performance Institute) tak pernah berhenti menjadikan pertunjukan sebagai alat baca kenyataan. Pada tahun 2001, mereka menginisiasi proyek panjang bernama Waktu Batu, yang berpijak pada mitologi dan sejarah Jawa, serta penjajarannya dengan situasi transisi dalam masyarakat kontemporer Indonesia. Pada rentang 2002 hingga 2006, proyek tersebut tumbuh dan terlahir menjadi beberapa versi pertunjukan. Melalui pembacaan ulang teks tersebut, versi keempat Waktu Batu lahir dengan kontekstualisasi gagasan mengenai konfrontasi ekologis antara kawasan dunia utara dengan dunia selatan. Gagasan tersebut lantas diolah melalui pembaharuan bahasa pertunjukan di tubuh Teater Garasi. Upaya amplifikasi percakapan yang luas diwujudkan lewat formulasi pertunjukan silang-media (teater x video game x sinematografi) yang melibatkan performer lintas generasi. 

Jika karya Teater Garasi menggerakan percakapan ke ranah konstelasi global, lain halnya dengan karya dari Sardono W Kusumo, seorang tokoh tari kontemporer Indonesia. Sepanjang perjalanan kekaryaannya, dengan penuh kesadaran ia selalu meleburkan dirinya untuk mengalami dan menjelajahi semesta kebudayaan Indonesia yang acapkali tersembunyi dan tidak dipandang sebagai satu lokus pengetahuan. Bergerak dengan gagasan metakologi, praktik penciptaannya merupakan bentuk elaborasi kebudayaan yang terus menawar ulang pengetahuan atas keterhubungan antara manusia dan alam. Maka setelah Desa Teges di Bali, Apo Kayan di Kalimantan, dan Bawomataluo di Nias, kini ia mengajak kita mengalami salah satu bentuk seni rupa tertua di dunia: tato Mentawai. Berkolaborasi dengan masyarakat suku Mentawai dan para pegiat tato, karya Sardono mengajak kita menggali ulang tato sebagai nilai kebudayaan yang merefleksikan memori kultural, memori sosial, serta memori tubuh dan alam.

Mendorong kreativitas ke arah percakapan subyektif dialektis ke dalam diri sendiri adalah daya yang lain. Lewat kontrol kesadaran yang tinggi, narasi-narasi kecil kedirian dapat menjadi kekuatan yang berpantulan kencang dengan arus besar narasi dunia. Sebagaimana yang terjadi antara Bulqini dan seorang robot bernama Jack. Kelahiran Jack merupakan bentuk manifestasi dari biografi panjang antara Bulqini, seni, dan teknologi. Sebagai sebuah kreasi program, Jack digagas dan dikembangkan untuk berinteraksi tidak hanya dengan manusia, melainkan juga dengan berbagai kemungkinan objek lainnya. Pada rentang 2015 hingga 2023, Jack telah berhasil hidup dalam berbagai ragam format pertunjukan. Kini, bersama Mainteater, program Jack hadir dalam bentuk pertunjukan interaktif yang mencoba mengurai kembali hubungan antara masa lalu dengan masa kini, dari organisme micro ke perubahan yang lebih macro. Melalui bahasa-bahasa counting digital, manipulasi maket dan obyek yang diproyeksikan, Jack menantang kita bertukar pandangan atas relasi eksploitatif antara manusia dengan alam.

Dahulu adalah Melancholic Bitch (Melbi), kini adalah Majelis Lidah Berduri (Melbi). Menjadi sederhana dan gila aksesibilitas bukanlah hal yang ingin digapainya, sehingga ketiadaannya adalah keberadaan yang tak bisa ditiadakan. Setiap karyanya adalah semesta percakapan serius: sebuah tawaran percakapan yang tidak tanggung mengajak kita jalan-jalan. Situasi dialektis di tubuh Melbi adalah dimensi percakapan dapur kreatif yang akan selalu lebih panjang daripada hasil hidangan kreatifnya di meja makan. Tak mengherankan jika akhirnya pada rentang 20 tahun perjalanannya, artist collective ini ‘baru’ melahirkan tiga album penuh. Menyongsong kelahiran album keempatnya, Melbi sekali lagi membawa relasi diskursif bagi pendengarnya. Bersama sederet kolaborator, mereka menjelmakan panggung menjadi dimensi untuk mengalami teka-teki dunia: tentang apa yang sedang berlangsung dan menjadi wacana hari ini.

Selain keempat pertunjukan utama tersebut, tentu hadir pula pertunjukan-pertunjukan lain yang menggerakkan perbincangan tentang beragam isu. Dari keseluruhannya, Movere lantas dipilih menjadi tema kuratorial yang membingkai performa.ARTJOG 2023. Movere merupakan kata dalam bahasa latin yang menjadi akar kata dari motif (motive), dan memiliki arti 'sesuatu yang bergerak'. Pengertian tersebut menjadi navigasi semesta seluruh pertunjukan yang hadir, sekaligus sebagai penegasan hubungan saling sokong antara seni dan masyarakat dalam sebuah kontinum percakapan yang kritis. Semoga kita tak akan pernah selesai menandai dan memahami dunia yang tak akan pernah seutuhnya kita pahami. Selamat berjelajah.

Kurator

B.M. Anggana