Agus Suwage (lahir di Purworejo, 1959) merupakan seorang seniman yang menyelesaikan pendidikan Desain Grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung pada tahun 1986. Di awal karirnya, Suwage mengeksplorasi topik-topik seputar komentar sosial. Ia juga kerap melalukan eksplorasi media seperti penggunaan aspal dan tanah dalam karyanya. Sementara itu, karya-karya lukis Suwage juga lebih banyak dituangkan melalui media kertas ketimbang kanvas yang kerap menampilkan potret dirinya sebagai subjek lukisan. Karya potret diri Suwage tidak hanya menjadi subjek independen, namun juga hadir berdampingan dengan elemen lain. Dengan demikian, karya Suwage dapat dilihat sebagai kombinasi atas refleksi diri dan kontradiksi tentang "diri" itu sendiri. Potret diri tersebut juga menempatkan Suwage dalam dua posisi sekaligus, yaitu sebagai subjek dan objek, mengekspresikan sikap terhadap diri sendiri dan menggambarkan bahwa "diri" akan selalu berubah ketika hadir di tengah kehidupan sosial yang berubah-ubah.
Suwage pernah menerima penghargaan dari Phillip Morris Indonesia Art Award dan Phillip Morris ASEAN Art Award. Pameran tunggal pertamanya diselenggarakan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta tahun 1995, sementara pameran tunggal di luar negeri pertama dilaksanakan di H Block Gallery QUT, di Brisbane, Australia. Pada tahun 1997, karya Suwage dipamerkan dalam lima pameran sekaligus, empat di antaranya di selenggarakan di India, Malaysia, Cuba, dan Jepang. Beberapa pameran lainnya, termasuk CYCLE No.2 dan CYCLE No.3 (2013), The End Is Just Beginning Is The End, The Tyler Rollins Fine Art, New York, Amerika (2011), dan Pause/Re-Play, Bandung (2005). Belakangan ini, pameran Agus Suwage:The Theater of Me, Museum MACAN (2022) menampilkan perjalanan kariernya di dunia seni rupa dalam 30 tahun terakhir.
Titarubi (lahir di Bandung, 1968) menyelesaikan Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB Bandung tahun 1997. Titarubi mendirikan Indonesia Contemporary Art Network (iCAN) bersama dengan Enin Supriyanto pada tahun 2008. Karya-karya Titarubi banyak menyinggung persoalan kemanusiaan, terutama dalam sejarah perkembangan nasional. Mengenai hal tersebut, ia pernah menampilkan dua buah patung berbentuk jubah yang terbuat dari buah pala yang disepuh dengan emas murni. Karya ini menggambarkan bagaimana kolonialisasi awalnya bekerja untuk mencari rempah-rempah, salah satunya pala, yang pada akhirnya mengakibatkan naiknya komoditas pala hingga melebihi nilai kemanusiaan itu sendiri. Karya ini pernah ditampilkan dalam pameran Discourse of the Past (2014).
TItarubi pertama kali menggelar pameran tunggalnya yang berjudul Yang Kelak Retak, Stage Cafe dan Pondok Indah Mall Jakarta (1995). Beberapa pameran tunggal lainnya, termasuk Senyap, Salian Art, Bandung (2015), Discourse of the Past, Philo Art Space, Jakarta (2014), Burning Boundaries, Galerie Michael Janssen, Berlin (2013), karya komisi Surrounding David, National Museum of Singapore, Singapura (2008), Kisah Tanpa Narasi, Cemeti Art House, Yogyakarta (2007), dan Benih, Via-Via Cafe, Yogyakarta (2004). Karya Titarubi juga telah dipamerkan dalam berbagai pameran bersama di Asia dan Eropa, antara lain Singapore Biennale, ZKM Center for Art and Media (Karlsruhe, Jerman), Museum and Art Gallery of the Northern Territory (Darwin, Australia), Busan Biennale Sculpture Project, dan MACRO (Museo d'Arte Contemporanea di Roma, Itali).
Agus Suwage dan Titarubi berkolaborasi menghadirkan karya instalasi yang kompleks di dalam bangunan khusus, sebuah lorong tertutup dengan suara, objek-objek trimatra, gambar, benih, tanaman dan bulir padi. Kesatuan karya yang menggabungkan berbagai wahana dan organisme hidup ini menempati lorong sepanjang 26 meter, lebar 11 meter dan ketinggian langit-langit antara 3 sampai 6,3 meter. Koridor ini memiliki 7 ruangan yang luasnya berbeda-beda, menghadirkan berbagai konfigurasi dan pesan dari pasangan seniman sebelum berujung pada hamparan berbagai tanaman padi di bagian belakang. Berada di dalam lorong ini adalah mengalami sebuah keheningan yang terpisah dari dunia luar. Koridor dengan ruang-ruang di dalamnya memberi rasa kedalaman bagi pengunjung.
Agus Suwage menghadirkan sembilan karya trimatra dengan berbagai wahana yang mengedepankan objek-objek telinga manusia. Instalasi objek telinga ditempatkan sejak arena depan selasar dan mengisi tujuh ruangan di dalam koridor, memperoleh bentuk sebagai tiang pelantang, pohon, lemari, dinding, rak, cermin dan bronjong. Pada satu sisi objek telinga merepresentasikan ruang sosial kita yang sangat "toleran" pada kebisingan dan lenyapnya keheningan. Pada sisi lain, hanya dengan indera pendengaran itulah kita dapat menguji pengalaman kebertubuhan dan mengalami keheningan.
Titarubi menghadirkan hasil penelitiannya yang berfokus pada tanaman padi. Ia menggali narasi kearifan lokal dan mitos yang menyertai kesucian padi. Dalam budaya Sunda ada mitos sangat tua tentang Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang memuliakan tanaman padi. Semua tumbuhan yang berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Padi: pohon kelapa dari kepala, rempah-rempah dari telinga, bunga-bunga dari rambut, buah-buahan dari payudara, pohon jati, cendana dari lengan, dan aren serta enau dari alat kelamin, bambu dari paha, dari kaki tumbuh umbi-umbian dan ketela, dan dari pusaranya tumbuh padi. Mitos ini dikisahkan selama berabad melalui tradisi lisan. Ada tradisi di Jawa saat petani mulai panen padi, mereka membacakan doa dalam prosesi yang disebut "Mboyong Mbok Dewi Sri". Itu adalah penanda bahwa kesejahteraan para petani mesti pulang ke kediaman mereka sendiri. Di dalam koridor ini Tita menghadirkan berbagai rekaman doa pengiring ritual dan berbagai bentuk sastra puja yang memuliakan spiritualitas bumi dan tanaman padi. Punahnya benih, hilangnya keanekaragaman berarti tidak utuhnya pengetahuan kita tentang jalinan organisme dan akibat-akibat dari hal ini tidak dapat diramalkan.
Kolaborasi Agus Suwage dan Titarubi pada karya komisi untuk ARTJOG tahun ini baru terjadi lagi setelah pasangan seniman ini tampil bersama pada Singapore Biennale di Singapura, 2006.