Menaruh perhatian pada isu politik pangan, Elia Nurvista (lahir di Yogyakarta, 1983) menggunakan berbagai medium dan pendekatan interdisipliner untuk mencermati kesenjangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi di dunia melalui makanan. Elia kerap menggunakan beberapa media, termasuk lokakarya, kelompok belajar, publikasi, seni site-specific, pertunjukan, video, dan instalasi seni untuk mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan serta membicarakan isu yang lebih luas, seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik.
Di tahun 2015, ia menginisiasi sebuah kelompok belajar makanan bernama Bakudapan bersama teman dan koleganya. Bersama kelompok ini, ia melakukan penelitian tentang pangan dalam konteks sosial, politik, dan budaya. Ia juga merupakan bagian dari Struggles for Sovereignty, sebuah platform solidaritas mengenai tanah, air, pertanian, dan pangan antar kelompok di Indonesia dan transnasional yang terlibat dalam perjuangan hak untuk menentukan nasib sendiri atas sumber daya dasar.
Elia pernah terlibat dalam beberapa proyek kuratorial, seperti Jogja Biennale Equator VI; Indonesia bersama Oceania (2021) dan ADAM LAB bersama Transient Collective, Taipei Performing Arts Center, (2020). Sementara itu, ia juga pernah mengikuti beberapa pameran, termasuk Sharjah Biennial 15, Sharjah (2023), Dhaka Art Summit, Dhaka (2020), Karachi Biennale, Karachi (2019) dan The 9th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art, QAGOMA, Brisbane (2018). Ia dinominasikan untuk Visible Award di tahun 2017 untuk praktik-praktik sosialnya dan menerima posisi Artistic Chair dari Nantes Institute for Advanced study, Prancis dan bekerja sebagai fellowship researcher di tahun 2023. Saat ini ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta dan Berlin.
Karya cetakan digital Elia berfokus pada isu aktual mengenai industri sawit. Di satu sisi sawit merupakan komoditi ekspor yang bernilai sangat tinggi bagi negara-negara pengekspornya. Indonesia adalah produsen minyak sawit dan minyak nabati terbesar dunia. Banyak sektor ekonomi dunia yang bergantung pada mata rantai penyediaan sawit (hidden palm oil), baik produk pangan maupun nonpangan seperti biofuel, kosmetik dan toiletris. Biofuel adalah bahan bakar yang dihasilkan dari bahan-bahan organik, tergolong produk yang paling sedikit mengeksploitasi sumber alam.
Pembukaan lahan-lahan baru yang terkait dengan kebutuhan industri ini telah berdampak pada kehancuran sosial dan ekologi seperti konflik lahan, penggundulan hutan dan perjuangan masyarakat adat yang tanahnya digusur. Kini ratusan juta orang di dunia terus berpartisipasi dalam industri sawit setiap harinya: pekerja migran, eksekutif perusahaan, pemegang saham, konsumen global sampai buruh dan petani setempat. Elia selama beberapa tahun menelusuri perihal isu "post-plantation" ini dan bergabung dengan platform Struggles for Sovereignity (SFS) yang mempertemukan berbagai komunitas di bidang seni, pangan, pertanian, hak atas tanah, aktivisme adat dan ekologi. Penelitian lapangannya tentang masalah ini dimulai sejak 2019. Isu mengenai tanaman sawit terus menerus berada dalam tarik-menarik antara kelestarian ekologis yang tetap mempunyai nilai sosial dan eksploitasi pekerja serta sumber alam.
Karya cetak digital Elia, bagian dari penelitian artistiknya yang bertajuk Long Hanging Fruits ini menghasilkan sejumlah panorama yang memperlihatkan kerumitan di balik ekonomi- politik kelapa sawit. Ia menggunakan komoditas ini sebagai lensa untuk melihat kompleksitas dunia hyper-kapitalisme sekarang ini. Bermula dari silsilahnya dalam sejarah kolonial hingga kehidupan dan tubuh kita yang terjerat bahan ini melalui konsumsi sehari-hari dan orang-orang yang berkorban untuk menggerakkan industri tersebut. Elia menggabungkan foto-foto, data pribadi, sumber internet dan gambar olahan mesin A.I. untuk memproduksi seri karya ini. Teknologi dan data yang digunakan dalam algoritma tidak sepenuhnya bebas dari masalah ketidaksetaraan dalam ras, gender dan kelas.