Haris Purnomo

  • Biografi Seniman

    Haris Purnomo (lahir di Klaten, 1956) adalah seorang seniman seni rupa kontemporer Indonesia. Haris menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI pada tahun 1984. Ia aktif memperjuangkan seni rupa kontemporer agar dapat diterima dalam dunia seni rupa Indonesia bersama kelompok PiPa (Kepribadian Apa), sebuah kelompok yang kritis di era 1970-1980-an dengan mengusung idealisme seni kontemporer. Sejak pameran bertajuk Luka (1984) bersama kelompok PiPa, Haris sempat vakum dari dunia seni rupa Indonesia selama lebih dari 20 tahun. Ia muncul kembali setelah pameran tunggalnya di Nadi Gallery, Jakarta pada tahun 2006.

    Nama Haris semakin diperhitungkan di dunia seni rupa setelah meraih penghargaan The Schoeni Public Vote Prize, Sovereign Asian Art Award, Hong Kong di tahun 2017. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai kota di dunia, seperti Shanghai, Taipei, Miami, Seattle, New York, Zurich, Milan, dan Praha serta terlibat dalam beberapa balai lelang terkemuka.

    Beberapa pameran terakhirnya, meliputi pameran tunggal Beyond the Mirror Stage, MiFA Gallery, Melbourne (2013), Baby in Transcendent Space, Primae Noctis Art Gallery, Lugano (2012), The Babies: Allegory of Docile Bodies, Bentara Budaya, Jakarta, dan CoCA, Seattle (2009), dan Di Bawah Sayap Garuda, Galeri Nadi, Jakarta (2006).

  • Konsep Karya

    Haris Purnomo adalah perupa spesialis bayi. Bayi-bayi dalam lukisannya tampak dilahirkan dalam keadaan sempurna. Anggota badannya lengkap, tubuhnya sehat. Makhluk-makhluk kecil ini terlentang, berguling, tengkurap dan merangkak. Gestur-gestur inosen ini memenuhi sekujur bidang kanvasnya, menghadirkan panorama absurd bayi-bayi.

    Tubuh-tubuh bayi itu bertato api, naga dan tengkorak, motif yang melambangkan kekuasaan dan maut. Goresan yang tajam mengesankan bahwa rajah pada tubuh bayi itu permanen. Kekebalan bawaan tidak mampu melindungi kulit halusnya dari luka torehan tato. Tato kekerasan pada tubuh bayi menjadi tanda lahir (Jawa: toh) yang akan meramalkan nasibnya di masa depan. Di mata Haris, dunia sudah terstigmakan oleh kekerasan yang menandai kelahiran manusia sejak hari pertama. Pandangan pesimistis dan stigma ini menyangkal mukjizat kelahiran yang terberi. Inilah paradoks pertama yang diciptakan Haris.

    Motif kekerasan dilukis dengan tekun dan halus, mengesankan ornamen yang manis dan raut bayi-bayi inosen. Namun motif ini menyembunyikan pandangan muram mengenai takdir bayi-bayi yang masih terbuai di antara kehangatan selendang (Baby in Red, 2022). Ini melahirkan paradoks kedua.

    Motif tato baru muncul pada lukisan Haris: moncong rudal dan peluru kendali. Sebuah video mengenai pengeboman beberapa rumah sakit di wilayah Gaza dalam konflik Palestina-Israel baru-baru ini telah menginspirasi lukisan barunya, Sujud tak Terwujud: Anak-anak Gaza (2024). Perang telah menewaskan puluhan bayi. Tubuh-tubuh bayi bertato alat-alat perang dilukiskan bertumpuk-tumpuk sampai di kejauhan cakrawala, sebuah lanskap pasca-apokaliptik tentang dunia yang tengah runtuh, tanpa harapan untuk memenangkan masa depan.