Karya-karya Herman Chong (lahir di Malaysia, 1977) terletak pada persimpangan antara gambar, pertunjukan, situasi, dan tulisan. Chong menyelidiki fungsi infrastruktur sehari-hari sebagai arena politik melalui interogasi dan penyelidikan yang mendalam.
Melalui seri Foreign Affairs (2018), Chong menampilkan gagasan tersebut secara kritis dan reflektif melalui serangkaian foto pintu belakang kedutaan. Rangkaian foto tersebut dapat dibaca sebagai infrastruktur, namun juga mengingatkan kita terhadap keberadaan kamera pengintai yang selalu mengawasi segalanya. Selain itu, ketertarikan Chong pada politik sehari-hari juga dapat dilihat melalui seri karya Abstracts From The Straits Times (2018). Melalui seri ini, Chong berusaha mengomentari lanskap media hari ini yang selalu diintervensi oleh pemahaman tentang kebenaran politik, tuduhan berita palsu, opini publik, dan teknologi deep-fake.
Karya-karyanya yang lain telah dipamerkan di berbagai negara, dan dikoleksi oleh beberapa institusi, termasuk Art Sonje Center, Kadist Art Foundation, M+ Museum, The National Museum of Art Osaka, NUS Museum, Rockbund Art Museum, Singapore Art Museum, dan Weserburg Museum.
Karya-karya Heman Chong berada di persilangan antara gambar, performans, situasi dan tulisan. Motif pendekatannya adalah imajinasi, interogasi, dan terkadang intervensi terhadap infrastruktur sebagai wahana politik sehari-hari. Pada karya video ini Heman tertarik dengan kondisi ambang antara eksistensi dan bayangan akan keruntuhannya. Kerapuhan dihadirkan melalui pemilihan subyek karyanya melalui sudut pandang orang yang berjalan.
Video berdurasi panjang ini dibuat tahun lalu, bagian dari seri karya Chong bertajuk "Ambient Walking" pada kanal Youtube ASMR. Heman menyusuri Tanglin Halt Green, kompleks pemukiman umum di kawasan Tanglin Halt Road yang difasilitasi dan disubsidi oleh pemerintah Singapura pada era 1970-an. Kompleks ini akan dirobohkan dan diremajakan dalam waktu dekat.
Chong berjalan menyusuri semua blok, jalanan, pojokan dan lorong yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lain di dalam kompleks. Ruang-ruang kosong tanpa penghuni yang tampak suram dengan pintu-pintu tertutup, jendela pecah, sudut-sudut lengang dipenuhi semak dan dinding yang mengelupas terekam oleh "kamera hantu"nya. Lensa alat perekamnya sedikit berkabut karena tetesan air hujan yang mengalir deras, kadang kala mengganggu pandangan pada struktur-struktur beton yang melapuk di depannya. Genangan-genangan memantulkan langit yang kelabu. Video dibarengi suara hujan seperti tetabuhan pada atap rumah, jalanan dan payung yang melindungi kameranya. Suara berisik itu tertangkap oleh mikrofon di bawah payung. Pemukiman yang dulu semarak sudah ditinggalkan semua penghuninya, menjelma kawasan tempat alam dan kerusakan kota bertemu dengan cara aneh dan indah.
Kompleks pemukiman yang terbengkalai ini menunjukkan sebuah ambisi negeri yang terus berubah dengan dorongan semangat hiperkapitalisme yang membuncah. Dalam ambisi semacam itu, gagasan mengenai tempat bermukim sangat dipengaruhi oleh kerapuhan untuk bertahan pada masa kini. Semua tercurah ke masa depan. Hujan tanpa reda dalam video ini seperti merujuk pada klise klasik situasi pasca-apokaliptik tentang kehancuran yang akan datang.