Setelah menempuh pendidikan Seni dan Desain di Perancis, Ines Katamso (lahir di Yogyakarta, 1990) kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai seniman dan desainer visual di bawah studionya yang bernama Atelier Seni. Ines memulai praktik artistiknya dengan membuat mural sebelum secara bertahap mengalihkan karyanya ke dalam skala dan subjek yang lebih intim. Dalam karyanya, ia mengeksplorasi tema dan topik mengenai biologi, mikrobiologi, dan astrofisika untuk membicarakan mikro-organik yang rapuh dan penting bagi kehidupan manusia. Ketertarikan ini mendorongnya untuk bekerja dengan bahan dan medium yang ramah lingkungan. Selain itu, objek-objek dalam karyanya yang diperbesar merupakan upaya untuk mengingatkan betapa pentingnya mekanisme mikroskopis yang ada di alam sekitar.
Ines telah menggelar beberapa pameran tunggalnya, meliputi All the growing, Ruci Art Space, Art Jakarta (2021) dan It Happened, ISA Art, Jakarta (2021). Ia juga pernah terlibat dalam beberapa pameran lain, seperti Inquirious, Semarang Gallery, Semarang (2023), Convocation, ISA Art Gallery, Jakarta (2022), Titik Kumpul, ISA Art Gallery, Jakarta (2022), Sensing Sensation, Semarang Gallery, Semarang (2021), dan I.......Therefore I Am, Can's Gallery, Jakarta (2019).
Dalam sebuah perenungan atas prediksi atas masa depan, Ines mencermati terjadinya krisis yang pada masyarakat kita. Serangkaian fenomena yang menjadi tanda kemunduran dominasi rezim antroposentris. Hal ini juga menjadi sebuah tanda akan prediksi masa depan bumi tidak lagi hanya milik manusia seorang. Keenam kepunahan massal yang sedang berlangsung adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal, dan ini bersumber dari aktivitas manusia yang menjadi pusat di alam ini.
Bumi menyimpan kenangan; Kita adalah bagian dari susunan materi yang kompleks di mana setiap partikel berubah bentuk dan tempat seiring waktu. Akhir adalah awal dari transformasi fisik dan metafisik yang mendalam. Untuk memahami masa lalu, ahli geologi dan paleontolog mempelajari lapisan tanah untuk mengungkap wawasan tentang peristiwa geologi kuno, iklim masa lalu, aktivitas biologis, dan penelitian fosil.
Infrastruktur modern kita saat ini, sebagian besar dibangun dari material berkualitas rendah, rentan dari erosi. Hancur menjadi serpihan beton, bata, pasir, dan ubin. Gaya hidup konsumsi massal dan produksi sampah yang ekstensif sedang membanjiri ruang hidup kita. plastik mengelilingi kita, terus memecah menjadi partikel-partikel kecil seiring waktu, secara perlahan mengambil alih inti ekosistem alami selama berabad-abad. Selayaknya monster yang kita ciptakan dan telah kehilangan kendali, menyerbu ruang dan waktu tanpa solusi yang jelas untuk penanggulangan.
Entitas buatan ini, terdiri dari plastik dan puing-puing, akan menjadi warisan abadi manusia, dengan kenangan-kenangan terpahat di dalam tanah. Kesejahteraan hidup yang manusia kejar melalui konsumsi massal dan pengerukan kekayaan bumi pada akhirnya memutus hubungan dengan alam dan nilai spiritualitas-nya. Seolah kepunahan roh besar bumi, Naga Antaboga, di era kita. Semoga Ia masih ada, mungkin tersembunyi di lapisan tanah terdalam menunggu kita hadir untuk mengambil kembali kerajaannya yang megah.
Dalam rangka mewujudkan sebuah prediksi, Ines menciptakan berbagai relief "fosil" menggunakan plastik daur ulang dan puing-puing konstruksi. Disuguhkan melalui presentasi paleontologis, kotak pasir terapung dalam karya ini menggambarkan masa depan sisa peradaban budaya antroposentris yakni fosil sampah plastik dan konstruksi peradaban. Ines Katamso mengajak setiap pengunjung untuk berkontemplasi dan menggugat cara pandang lama akan manusia sebagai pusat semesta melalui perenungan keberadaan kehidupan (existence of being), sekaligus menyadarkan kita bahwa keberlanjutan Manusia bertopang pada Bumi yang lestari.