Agan Harahap (lahir di Jakarta, 1980) menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Desain Indonesia (STDI), Bandung pada tahun 2005. Setelah itu ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai fotografer senior untuk Majalah Trax, dan saat ini tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Agan mempertahankan praktik keseniannya pada manipulasi foto untuk menawarkan pembacaan atas kondisi sosial melalui paduan sindirian dan parodi.
Beberapa pameran tunggalnya, termasuk There's a Fun in Funeral, Mizuma Gallery, Singapore (2021) dan The Social Realism of Agan Harahap, Mizuma Gallery, Singapore (2017). Agan juga terlibat dalam beberapa pameran kelompok, seperti Doxa & Episteme - In Search of the Real Deal, Mizuma Gallery, Singapore (2024), Yesterday, I Wrote the Future, Can's Gallery, Jakarta (2023), Living Pictures: Photography in Southeast Asia, National Gallery Singapore, Singapore (2022), dan For the House; Against the House: Life Imitates Art, OH! Open House, Gillman Barracks, Singapore (2022). Karya-karyanya juga merupakan bagian dari Sigg Collection di Mauensee, Swiss; Freunde der Nationalgalerie, Berlin, Jerman; dan Tumurun Private Museum, Solo, Indonesia.
Sebagai manusia, kita selalu hidup dan tinggal dalam berbagai batasan. Hukum, undang-undang, bahkan agama, sesungguhnya adalah tentang batasan-batasan yang harus diterapkan dalam tiap lini kehidupan manusia. Batasan-batasan itu diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih baik, teratur dan terhindar dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupan.
Huta (desa) Babiat (harimau) merupakan desa terpencil yang terletak di perbukitan di perbatasan antara Tapanuli Selatan, Sumatera Barat, dan Riau. Dikisahkan bahwa penduduk desa itu merupakan keturunan dari datu yang melarikan diri dari perang Paderi yang berkecamuk di tahun 1800an. Oleh masyarakat sekitar, desa ini dianggap terbelakang karena masih mempraktikkan berbagai ritual pemujaan terhadap roh-roh yang menjaga hutan dan sungai. Namun demikian, walaupun tertinggal dan dianggap miskin, penduduk desa itu hidup rukun dan bersahaja dengan berpegang teguh dengan nilai-nilai ajaran leluhur yang mereka terapkan secara turun-temurun selama ratusan tahun. Namun seiring dengan maraknya pembukaan lahan tambang dan perkebunan sawit di wilayah itu, maka kehidupan mereka pun turut berubah. Masuknya para pendatang yang membawa berbagai pengaruh dari luar, secara perlahan-lahan mulai merubah cara pandang dan pola hidup mereka. Ritual-ritual adat kini sudah ditinggalkan karena dianggap sesat dan tidak sesuai dengan zaman. Tanpa disadari, perubahan-perubahan ini justru menimbulkan ancaman bagi ekosistem yang selama ini mereka jaga kelestariannya. Hari ini, Huta Babiat sudah tidak ada lagi. Para penduduknya sudah tersebar dan membaur dengan masyarakat sekitar. Cerita tentang Huta Babiat sudah tinggal kenangan yang tidak lama lagi akan terlupakan dan hilang karena tergerus oleh kemajuan zaman.
The Border Line merupakan karya fiksi yang merupakan gambaran dari kehidupan ideal yang kita agung-agungkan dan cita-citakan bersama namun sekaligus berbanding terbalik dengan perilaku kita hari ini.