Jun Kitazawa

  • Biografi Seniman

    Sejak akhir tahun 2000-an, Jun Kitazawa (lahir di Tokyo, 1988) telah melakukan praktik berkaryanya dengan melibatkan komunitas lokal di berbagai wilayah di Jepang. Metode kerja Kitazawa adalah menciptakan "kehidupan alternatif sehari-hari," seperti mendirikan ruang tamu di tengah pusat perbelanjaan, membuat kamar hotel di kompleks perumahan, mengadakan program sekolah di luar jam sekolah. Cara kerja dan proses ini membantunya untuk menemukan "seni yang hidup" sekaligus mempertanyakan ketidaksadaran masyarakat dan bagaimana komunitas kreatif muncul secara bertahap. Saat ini Kitazawa menetap di Yogyakarta dan sedang mengeksplorasi kemungkinan komunitas masa depan yang melampaui waktu, serta menelusuri ketidakhadiran sejarah kolonial Asia dan masyarakat kontemporer.

    Di tahun 2019, Kitazawa pernah mengerjakan proyek seni yang berjudul Nowhere Oasis dengan memboyong angkringan dari Yogyakarta ke Jepang, sebagai upaya untuk membangun momen spontan, klangenan, dan akrab di tengah ruang yang menurutnya padat dan tanpa kebebasan. Ia juga pernah mengikuti beberapa pameran kelompok, antara lain Publicness of the Art Center 2023: Playing Locality, Art Tower Mito, Antara Kita, KITA (2023), Am I Alone?, Online Exhibition, Malaysia (2021), dan Nandur Srawung #7,Taman Budaya Yogyakarta (2020). Ia juga pernah menggelar dua pameran tunggal berjudul Fragile Gift, Galley Lorong, Yogyakarta (2022) dan You are Me, Nara City Art Project Kotohogu Nara 2019-2020, Japan (2020).

  • Konsep Karya

    Fragile Gift adalah proyek mewujudkan ulang gumpalan besi pesawat tempur Hayabusa (artinya falcon atau elang) menjadi layang-layang yang dapat diterbangkan. Strukturnya dibuat dari bambu, rotan dan tali, tubuhnya dari kain peles. Ukuran layang-layang ini persis dengan tubuh pesawat asli, memiliki panjang 8, 92 m, sayap 10, 84 m dan tinggi 2,1 m.

    Terinspirasi oleh Naga Raja, layang-layang tradisional Bali yang berekor sangat panjang, ekor falcon ini mencapai ekor tiga puluh meter. Layang-layang bukanlah sebuah ancaman untuk berperang. Motif Kitazawa adalah menciptakan alternatif kehidupan sehari-hari untuk mendapati seni yang hidup. Praktik artistiknya menyasar ketidaksadaran masyarakat dengan menumbuhkan komunitas kreatif yang melampaui perbedaan bahasa dan budaya. Obyek sehari-hari seperti layang-layang dapat mewujudkan "lokalitas ganda" yang melampaui jurang waktu antara sejarah kolonial Asia dan masyarakat kontemporer.

    Testimoni pengalaman di masa penjajahan Jepang ditampilkan pada ekor. Salah satunya kutipan dari pantun Cak Durasim, seniman ludruk terkenal di Surabaya: "Pegupon omahe doro, urip melu Nippon tambah sengsoro"/ Kandang pegupon rumah merpati, ikut Jepang membuat hidup makin sengsara." Kitazawa menampilkan arsip foto-foto dari majalah Djawa Baroe dan dokumen dari museum di Belanda yang dicetak pada badan layang-layang raksasa ini: kamp tawanan perang, kediaman perwira militer, Sukarno muda dan anak-anak yang meniru salam hormat.

    Tujuan akhirnya adalah mewujudkan mimpi layang-layang ini, kelak ke negeri asalnya, Jepang. Sang elang ingin melintasi langit dengan menempuh arah sejarah yang berbeda, tanpa hubungan yang merugikan antara penakluk dan yang ditaklukkan. Impian itu rapuh, seperti upaya beberapa kali yang gagal saat menerbangkan falcon. Akan tetapi belajar dari sejarah tentang penjajahan, kerapuhan itu seperti kegembiraan sesaat ketika terbang. Fragile Gift adalah sebuah versi pasca-kolonialisme seniman yang mencampuradukkan mimpi serta kesedihan pesawat tempur dengan kegembiraan layang-layang.