Maryanto

  • Biografi Seniman

    Maryanto (lahir di Jakarta, 1977) menyelesaikan studinya di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta pada tahun 2005, dan menyelesaikan program residensi di Rijksakademie di Amsterdam pada tahun 2013. Ia menciptakan lukisan, gambar, dan instalasi hitam putih yang menggugah, yang membongkar bahasa romantis lukisan pemandangan tradisional sebagai upaya untuk mengeksplorasi relasi sosial-politik di beberapa situs lewat karya-karyanya. Melalui dongeng dan latar teatrikal, Maryanto tertarik untuk menelusuri kembali wilayah-wilayah yang menurutnya telah tunduk oleh keinginan para kolonial dan kapitalis melalui perkembangan teknologi, industrialisasi, polusi tanah, dan eksploitasi sumber daya alam.

    Beberapa pameran tunggalnya, meliputi Breathing Home, Galeri Ruang Dini, Bandung (2024), Meru/Fractured Paradise, TabulaRasa Gallery, London, (2023), A Journey of Forking Paths, Yeo Workshop, Singapore (2019), dan permanent osmosis, LIR Space, Yogyakarta (2019). Ia juga banyak terlibat dalam beberapa pameran lain, termasuk Archiving landscapes, Yeo Workshop Gallery, Singapore (2024), Art Dubai 16th edition 2023, Madinat Jumeirah (2023), Wealth from Overseas, Tropenmuseum, Amsterdam (2023), Chance Constellations, S.E.A. Focus, Singapore (2022), dan Pollination: Of Hunters & Gatherers, MAIIAM Contemporary Art Museum, Thailand (2021)

  • Konsep Karya

    Alam, dengan keindahannya yang tak terbatas dan bentang alam yang selalu berubah, telah lama memikat imajinasi manusia. Seniman berupaya menangkap esensi alam dan merefleksikan hubungan manusia dengan alam. Alegori adalah alat untuk menyampaikan gagasan kompleks melalui perumpamaan sederhana. Dalam konteks alam, alegori sering kali menggunakan simbol-simbol alam, tumbuhan, dan fenomena alam untuk menyampaikan kebenaran yang lebih dalam tentang pengalaman manusia. Pohon beringin yang menjulang tinggi melambangkan kekuatan dan ketangguhan, sungai yang berkelok-kelok melambangkan perjalanan hidup.

    Alegoris alam adalah ritme siklus kehidupan. Simbol pembaruan dan transformasi, seperti pergantian musim atau siklus hidup kupu-kupu, berfungsi sebagai pengingat akan siklus abadi kelahiran, pertumbuhan, kematian, dan kelahiran kembali. Tema siklus ini mengajak kita untuk menerima perubahan dan ketidakkekalan, serta menemukan hiburan dalam ritme alami bumi.

    Dalam karya ini, eksplorasi interaksi manusia dengan lingkungan digambarkan melalui harmoni, keseimbangan serta ketidakseimbangan, di mana tindakan manusia telah menyebabkan degradasi dan kehancuran lingkungan. Melalui penggambaran yang kontras, kita didorong untuk merenungkan konsekuensi dari tindakan kita dan pentingnya pengelolaan bumi secara bertanggung jawab.

    Selain representasinya yang nyata, alegoris alam seringkali mengacu pada tradisi spiritual dan mitologis untuk membangkitkan rasa takjub dan hormat. Kepercayaan, spiritual, ritual suci dengan rasa misteri dan transendensi mengundang kita untuk mengeksplorasi dimensi keberadaan yang lebih dalam serta hubungan kita dengan yang Ilahi. 'Allegory of Nature' menumbuhkan rasa penghargaan, empati, dan kepedulian yang lebih dalam terhadap alam.