Kolektif Menyusur Eko Prawoto merupakan sebuah forum terbuka untuk menghimpun, menata, dan merawat pemikiran dan laku hidup Eko Prawoto baik dalam bidang arsitektur, seni, budaya, dan kehidupan secara luas. Forum ini juga menjadi upaya untuk menghubungkan butir-butir refleksinya sebagai bahan kajian bersama, sekaligus menjadi simpul persinggahan silaturahmi bagi para pencari demi masa depan yang lebih selaras.
Inisiatif ini dibentuk pertama kali pada 19 September 2023 dalam peringatan tujuh hari meninggalnya Eko Prawoto di Bale Klegung, Kulonprogo. Lalu menyelenggarakan acara hening bersama sebagai peringatan 40 hari dan 100 hari meninggalnya Eko Prawoto bersama kolega, murid, sahabat, dan kerabat beliau. Sementara itu, kolektif ini berada dalam naungan Yayasan Eko Agus Prawoto bersama dengan unit kegiatan lain, seperti Laboratorium Desa dan Museum of The Ordinary Things (Mothi), serta bersinergi dengan Murakabi Pomah dan Bale Klegung.
-
Ir. Eko Agus Prawoto, M.Arch (13 Agustus 1958 - 13 September 2023) merupakan seorang arsitek dan pengajar yang menonjolkan lokalitas nusantara sebagai upaya keberpihakan pada kemanusiaan dan hunian hijau. Ia menamatkan pendidikan Arsitektur di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1982, lalu menjadi pengajar dengan merintis Jurusan Arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Menyelesaikan program magister di The Berlage Institute Amsterdam pada tahun 1993.
Eko Prawoto percaya bahwa dunia arsitektur mesti kontekstual: artinya, harus menyesuaikan konteks sosial-budaya setempat. Hari ini, banyak orang membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam suatu proses pembangunan rumah, misalnya, Eko Prawoto lebih senang menggunakan bahan-bahan yang bersifat alami maupun elemen daur ulang atau bekas, sehingga anggaran pembangunan dapat dialihkan untuk membayar upah. Ia meninggal dunia karena sakit pada tanggal 13 September 2023
Sepanjang kariernya, Eko Prawoto dikenal sebagai arsitek, pengajar arsitektur dan perupa. Karya-karya arsitektur dan seni rupanya hampir tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dalam kedua ranah itu, Eko menciptakan ruang-ruang yang prasaja, dekat dengan alam dan menantang sebagai sebuah proses. Rancangannya terkesan "tidak sempurna", less aesthetics, more ethics.
Inspirasi utamanya adalah alam itu sendiri. Ada peran besar intuisi dalam karya-karyanya, dan di dalam praktik berarsitektur pun ada benih-benih kemanusiaan yang harus dijaga. Peran arsitektur/seni adalah penjaga kehidupan, "sehelai daun mungil dalam kerimbunan pohon besar, atau ujung akarnya yang lembut dalam himpitan kegelapan tanah, reranting rapuh tempat bertengger tunas atau bunga. Namun, dari kerelaan peran-peran kecil itulah kehidupan terjaga."
Gerakan Arsitektur Nusantara pernah didengungkan sejumlah arsitek muda beberapa waktu lalu. Gerakan ini menanggapi maraknya arsitektur modern yang tidak berakar pada kekayaan tradisi seni bangunan di tanah air sendiri, hanya melahirkan arsitektur gado-gado dengan prinsip "anything goes". Pencariannya akan tradisi arsitektur Nusantara seluasnya, membawa Eko kemudian lebih dekat dengan kehidupan desa dan kampung. Tradisi adalah endapan pengetahuan, keterampilan yang tumbuh selaras dengan alam. Ia menyebut arsitekturnya sebagai "arsitektur kampungan".
Kemegahan karya arsitektur terlanjur mengarusutamakan struktur yang otonom atas alam, mengabaikan nilai percakapannya yang sementara dan hanya menumpang hidup di atas bentang alam yang lebih dulu ada. Model arsitektur tradisi yang prasaja itu adalah limasan, yang strukturnya digunakan Eko untuk membangun kembali - dengan kayu-kayu sisa reruntuhan-puluhan rumah yang hancur di Desa Ngibikan saat gempa besar di Yogyakarta, 2006. Proyek Ngibikan ini pernah dinominasikan untuk Aga Khan Award for Architecture, 2008.
"Indonesia makmur secara budaya. Kampung adalah arsitektur itu sendiri yang sangat dekat dengan kehidupan. Kampung sangat inspiratif karena di sana ada kehangatan, relasi, kejujuran dan tentang manusia," tulis Eko Prawoto. Baginya desa adalah masa depan Indonesia. Karya-karya Eko Prawoto pernah dipamerkan di Venice Bienniale, Italia (2000), Gwangju Biennale, Korea (2002), Echigo Tsumari Art Triennial, Jepang (2003), Singapore Biennale (2013) dan Sonsbeeks, Belanda (2016).
LENG, GAMBAR, MAKET, VIDEO, OBYEK PERTUKANGAN, FOTO DAN ARSIP
Leng, karya instalasi bambu yang dihadirkan di ruangan ini menandai debut Eko Prawoto di ranah seni rupa. Karya ini pernah ditampilkan pada pameran tunggal Eko di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta pada 2008. Susunan bambunya yang berjajar mengingatkan pada motif pagar yang bersahaja, pembatas halaman rumah dengan jalanan di kampung. Ketinggiannya mendinding, sebagian menyentuh atap. Pagar atau dinding? Batas atau sekat? Aktif atau pasif? Ambang itulah yang ditampakkan melalui Leng. Pemisahan lunak antara garis-garis bambu yang tegak atau rebah menjorok, saling topang atau bersinggungan melahirkan irama yang mendorong pengamatan aktif dan kepekaan afektif. Leng adalah permainan sekat di dalam ruang, wahana atau bayangan yang mau menghantar, bukan penghalang. Sebagaimana Eko menyebut karya arsitekturnya sebagai "arsitektur kampungan", instalasi bambu ini dapat dijuluki "instalasi kampungan".
Karya seni rupa Eko Prawoto memperoleh motif estetiknya melalui pengolahan aspek-aspek tektonis di ranah arsitektur: guna dan citra. Aspek ini memadukan teknik/praktik ketukangan dan keindahan, mendekatkan kerasnya material dan ungkapan puitis, melahirkan kesinambungan antara kedekatan dan jarak.
Sketsa, gambar-gambar yang bukan merupakan rancangan untuk arsitektur, maket dan foto-foto dikerjakan Eko Prawoto sejak lama. Tidak hanya tertarik pada skala dan struktur besar bangunan, ia juga menikmati suasana bentang alam seperti tampak pada beberapa gambar penanya yang lembut dan liris. Dalam beberapa tahun terakhir, semenjak memutuskan pindah dan tinggal di desa, Eko Prawoto tertarik mengumpulkan alat-alat pertukangan dan pertanian, benda-benda sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari orang desa yang masih banyak dijumpainya di pasar. Wahana yang tampak artistik dan prasaja itu kini dihimpun dalam sebuah tempat yang diberinya nama Museum of the Ordinary Things (2019), tak jauh dari rumahnya di desa Banjararum, Kulon Progo.