Nicholas Saputra, Happy Salma, Iwan Yusuf, dan (alm) Gunawan Maryanto

  • Biografi Seniman

    Nicholas Saputra

    Nicholas Saputra (lahir 1984) adalah aktor dan produser film Indonesia. Nicholas pertama kali terkenal melalui peran Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta? tahun 2002, sebuah peran yang sama dalam film Ada Apa Dengan Cinta? 2 di tahun 2016. Sebagai aktor ternama, ia telah mendapat dua penghargaan dalam Citra Award untuk Aktor Terbaik sebagai karakter utama dalam film Gie (Sutradara Riri Riza, 2005) dan Aktor Pendukung Terbaik dalam film Aruna & Her Palate (Sutradara Edwin, 2018).

    Nicholas mendedikasikan dirinya pada isu lingkungan dan konservasi, sekaligus mendukung hak-hak mengenai anak. Ia juga pernah menjabat sebagai eksekutif produser dan produser untuk beberapa film lingkungan hidup melalui perusahaan produksi miliknya bernama Tanakhir Films. Di tahun 2019, Nicholas dinobatkan sebagai Duta Niat Baik UNICEF Indonesia.

    Happy Salma

    Happy Salma (lahir 1980) merupakan seorang aktris, produser, dan penulis berkebangsaan Indonesia. Ia termasuk salah satu tokoh berpengaruh di Asia, versi majalah Tatler pada tahun 2020. Happy menerima penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha 2023 dari Institut Seni Indonesia Denpasar untuk kategori Seniman dan Maesenas Seni.

    Ia memulai karirnya di dunia seni peran dengan membintangi puluhan judul sinetron. Ketika menggeluti dunia sinetron, Happy menemukan kecintaannya pada dunia sastra, yang kemudian ia tuangkan dalam dua buku kumpulan cerpen, termasuk Pulang (2006) yang menjadi nominasi dalam Literary Khatulistiwa Award dan Telaga Fatamorgana (2008). Ia juga terlibat kerja kolaborasi dalam beberapa antologi cerita pendek, termasuk Titian: Antologi Cerita Pendek Kerakyatan (2008), Lobakan: Antologi Cerita Pendek (2009), 24 Sauh Kolaborasi Cerpen (2009) dan Dari Murai Ke Sangkar Emas (2009)

    Selain cerpen, ia juga menulis novel kolaborasi dengan Pidi Baiq berjudul Hanya Salju dan Pisau Batu tahun 2010. Terakhir, ia menulis dan menerbitkan buku biografi kreatif Desak Nyoman Suarti "The Warrior Daughter" tahun 2015.

    Gunawan Maryanto

    Gunawan Maryanto (lahir di Yogyakarta, 1976) merupakan seorang sutradara, aktor dan penulis. Ia bekerja di Teater Garasi/Garasi Performance Institute sebagai Associate Artistic. Dalam tujuh tahun terakhir, ia mengelola IDRF (Indonesia Dramatic Reading Festival) selaku penata program. Sebagai seorang pelaku budaya dan seni, ia pernah meraih penghargaan Anugerah Budaya dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk Media Cetak dan Elektronik kategori puisi pada tahun 2007, FTI Award 2008, dan Anugerah Sastra Khatulistiwa 2010 untuk kategori puisi. Cerpen dan puisi-puisinya termasuk Cerpen Indonesia Terbaik dan Puisi Indonesia Terbaik dalam Anugerah Sastra Pena Kencana 2008 dan 2009. Terakhir ia dinobatkan sebagai aktor film terbaik pilihan Majalah Tempo untuk permainannya sebagai Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-Kata di tahun 2016.

    Beberapa karya penyutradaraan Maryanto bersama Teater Garasi, antara lain Krontjong Mendoet (2012), Gandamayu (2012), Dicong Bak (2006), dan Repertoar Hujan (2001, 2005). Sementara itu, ia juga kerap membintangi beberapa film, termasuk Istirahatlah Kata-Kata (Sutradara Yosep Anggi Noen, 2016), Nyai (Sutradara Garin Nugroho, 2016), Aach… Aku jatuh Cinta! (Sutradara Garin Nugroho, 2015), dan Mencari Hilal (Sutradara Ismail Basbeth, 2015).

    Sebagai seorang penulis, karya-karya tulis yang pernah diterbitkan, di antaranya Pergi Ke Toko Wayang (kumpulan cerita, Tan Kinira 2015), Sukra's Eyes and Other Stories (short stories, Lontar, 2015), Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (kumpulan puisi, Omahsore, 2008), dan Waktu Batu (naskah lakon, ditulis bersama Andre Nur Latif dan Ugoran Prasad, Indonesiatera, 2004). Ia juga pernah diundang untuk membacakan karyanya di Frankfurt Book Fair (2015), Korean ASEAN Poetry Literary Festival II (2011), Ubud Writers and Readers Festival (2006), Global Voices in Borobudur (2009), dan Utan Kayu (2005).

  • Konsep Karya

    Karya ini adalah alih wahana dari pembacaan Serat Centhini khususnya dalam sequen Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan terjemahan Elizabeth D. Inandiak tahun 2002 dalam Bahasa Perancis (kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia tahun 2004), dengan sutradara alm. Gunawan 'Cindhil' Maryanto serta Nicholas Saputra dan Happy Salma yang bertindak sebagai narator. Pembacaan ini dibagi dalam 7 babak. Secara visual, mereka berkolaborasi dengan Iwan Yusuf yang mewujudkan ranjang dan kelambu sebagai media berkarya.

    Serat Centhini adalah mahakarya sastra Jawa atau Suluk terbesar Tanah Jawa yang ditulis pada masa Adipati Anom Amangkunagara III yang kemudian menjadi raja Kasunanan Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwana V (bertahta 1820-1823). Sang Adipati menitahkan tiga pujangga istana Surakarta, Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura untuk menyusun cerita kuno dalam bentuk tembang yang berjudul Suluk Tambangraras, kelak dikenal sebagai Serat Centhini. "Suluk" adalah "suara meninggi" dalam pertunjukan wayang, tetapi istilah itu juga mengacu pada "semua sastra gaib Jawa kurun Islam". Centhini berasal dari nama abdi Tambangraras.

    Centhini mengisahkan pengembaraan dua putra dan seorang putri Kerajaan Giri yang melarikan diri dari serbuan tentara Sultan Agung, Raja Mataram. Meninggalkan kerajaan yang sudah jadi puing, si sulung Jayengresmi kehilangan kedua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti. Selama pencarian itulah mereka mencicipi semua kebijaksanaan dan pelanggaran yang tumbuh subur di Tanah Jawa, pengalaman spiritual dan kesesatan yang "menenun serta mengutik-utik jaring khayal syahwat dan roh Tanah Jawa." Jayengresmi berubah nama menjadi Amongraga ("Ia yang memikul raganya") mengembara dan menikahi Tambangraras. Sebelum pernikahan dilangsungkan, Amongraga memberitahu Tambangraras bahwa segera setelah mereka bersetubuh-pada malam ke empat puluh-ia akan pergi meninggalkannya untuk mencari kedua adiknya.

    Dalam Serat Centhini yang asli, dikisahkan bahwa Amongraga dan istrinya, Tambangraras melewatkan empat puluh malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Empat puluh malam itu mengisi enam pupuh terakhir jilid ke-VI dan empat belas pupuh pertama jilid ke-VII.

    Melalui karya ini, kita diajak untuk memaknai isi dari percakapan antara Amongraga dan Tambangraras sebagaimana sebuah suluk dipresentasikan kembali pada zaman kontemporer ini, seperti halnya pemaknaan kita terhadap berbagai 'ramalan' dari masa lalu.