Nurrachmat Widyasena (lahir di Kanada 1990) adalah seorang seniman yang tinggal dan bekerja di Bandung. Nurrachmat menyelesaikan pendidikan Seni Grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada tahun 2013. Menggunakan teknik terapan seperti seni grafis, instalasi, dan drawing, karya-karya Nurrachmat mengeksplorasi gagasan seputar seni retro futurisme yang berada di persimpangan antara realitas dan fantasi. Di tahun 2015, Ia menerima penghargaan Special Mention di Bandung Contemporary Art Award #4, Lawangwangi Creative Space, Bandung.
Nurrachmat menggelar pameran tunggalnya dengan tajuk Young Artist Discovery, Taipei World Trade Center, Taipei (2014) dan Patriotic Myth of Space Age, Kamones Gallery & Workshop, Bandung (2013). Ia juga pernah terlibat dalam beberapa pameran kelompok, termasuk A.S.A.P, G13 Gallery, Kuala Lumpur (2016), RADAAR, Awanama Art Habitat, Jakarta (2016), Road To Artistic Diversity, Nafas Residency Showcase, Chandan Gallery,
Kuala Lumpur (2015), The Collective Young From South East Asia, Mizuma Gallery, Singapore (2015), dan Art Stage Singapore 2015, Marina Bay Sands, South East Asia Pavilion, Singapore (2015).
Janji dan propaganda tentang luar angkasa adalah sejenis fiksi ilmiah. Melalui percakapan antara tiga sosok avatar pada layar mini dari proyeksi video, presentasi di depan "panggung worm hole" ini menghadirkan obrolan ringan ala warung kopi tentang realitas dan mimpi-mimpi kemajuan teknologi. Topik-topik yang sebenarnya rumit dihidangkan seperti gaya penceritaan dalam fiksi sains. Bagi sebagian besar kalangan awam, bagaimanapun menikmati sisi fiksi akan dianggap lebih memikat ketimbang perbincangan "ilmiah" tentang kecerdasan buatan dan smartphone.
Abad yang lalu adalah abad antariksa yang berawal dengan peluncuran satelit pada 1957. Pasca Perang Dunia II, negara-negara adidaya memicu perlombaan star war sebagai psy war. Bagi astronom dunia Barat, semua peradaban akan menjadi antariksa atau punah. Pengaruh budaya space age ini dalam seni dan kehidupan sehari-hari sangat luas, mulai dari seni rupa, sastra, film, desain otomotif, sampai game. Ito menonton film Star Wars ketika masih di bangku taman kanak-kanak, peristiwa yang banyak mempengaruhi imajinasinya sebagai seniman.
Parodi pop Ito adalah retro-futuristik. Era kemajuan yang seakan berputar ke masa lalu. Capaian sains dan teknologi yang menakjubkan-menurut kacamata ini-adalah khayalan atau temuan-temuan pengarang melalui karya-karya fiksi seperti komik, novel, ilustrasi dan film. Periode 1960-'70an merupakan zaman keemasan genre fiksi ilmiah, yang dirintis oleh penulis-penulis besar seperti Jules Verne dan H.G. Wells. Pada sisi lain, kemajuan teknologi dan perubahan sosial juga mendorong suburnya genre tersebut. Aldous Huxley sudah melahirkan novelnya, Brave New World pada 1930-an, meramalkan datangnya masyarakat teknologis-distopian yang mengejar kenyamanan dengan mengorbankan keindahan dan kebebasan.
Teks-teks retro-futuristik dihadirkan Ito pada pelat kuningan yang "diremas", parodi distopian antara janji masa depan teknologi dengan realitas keseharian. Melalui format video podcast pengunjung pameran adalah audiens dalam gelar wicara para avatar, menyimak obrolan "berisi namun kosong", termasuk berbagai isu perkembangan teknologi di Indonesia.