Paul Kadarisman (lahir di Jakarta, 1974) tinggal dan bekerja di Jakarta. Paul menyelesaikan studi Fotografi di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2000. Karya-karya fotografinya telah mulai dipamerkan di beberapa pameran di Indonesia sejak tahun 1998. Paul juga menerima penghargaan dari Jakarta International Photo Summit di tahun 2007.
Paul mengadakan pameran tunggal pertamanya berjudul Baby n Resti, The Japan Foundation, Jakarta (2000) dan beberapa yang lainnya, termasuk Boring Happy Days, Langgeng Gallery, Grand Indonesia East Mall, Jakarta & Bentara Budaya Yogyakarta (2010) dan Kuotie-dien, RUBANAH Underground Hub, Jakarta (2023). Ia juga aktif terlibat dalam beberapa pameran kelompok, termasuk Tropical Hallucinations, GalerieBAQ, Paris (2023), Run the Gamut, RUBANAH Underground Hub, Jakarta (2021), ICAD 2020: Faktor X, Grand Kemang,Jakarta (2020), dan Beyond Transisi; Contemporary Indonesian
Photography, Fotografie Forum Frankfurt, Frankfurt (2015).
"Pikiranmu seperti air ini, kawan. Saat bergejolak, ia jadi sulit untuk dilihat. Jika kamu menunggu ia tenang, jawabannya jadi kelihatan." -Oogway, dari Kung Fu Panda (2008)
Paul menjuluki semua fotonya dengan "Jas Merah". Slogan "Jas Merah" bersumber dari pidato terakhir Presiden Soekarno pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966. Semboyan politik masyhur ini adalah kependekan dari ucapan Soekarno, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Alih-alih melahirkan kesan monumental atau mencitrakan sejarah, foto-foto Paul justru tampak sangat sederhana. Ia menghadirkan aneka belanjaan dan barang yang tiap hari kita jumpai di dapur: sayuran, buah, bumbu, telur, keripik kentang, tempe, daging ayam, ikan segar, pisau masak, tutup mangkuk... Semua itu terserak, remeh-temeh dan justru bukan bagian dari "sejarah" atau cerita-cerita besar. Pernyataan Paul: "Kata orang, sejarah itu milik yang menang. Kata saya, sejarah ternyata seni menata. Sejarah yang saya tahu militeristik-rapih, penuh kekerasan. Saya jahil ingin menatanya lebih lanjut. Biar sedap. Bukan hanya terpandang, tapi juga terkunyah, semoga lanjut tercerna."
Di antara yang berserak kita melihat satu dua buku, motif lain yang terselip, seolah tanpa sengaja ada di sana: kitab ramalan, biografi pecatur, genosida dalam sejarah Indonesia, monografi Karl Marx, Antonin Artaud, Nyanyi Sunyi dan Mein Kampf. Buku-buku, pembawa pesan sejarah akan dikunyah oleh para penggila buku, seperti makanan dicerna di dalam perut. Keduanya larut dalam pengalaman dan sensasi yang tak terlihat.
Paul mengunyahnya kembali dalam ketenangan yang sublim sebagai hidangan visual yang memberi kejutan warna, bentuk dan juktaposisi antara pesan dan bukan pesan. Melalui juktaposisi semacam itu kita mengalami pengalaman melihat yang sehari-hari, yang khaos, di luar tatanan, mengalir, tanpa persaingan dan dominasi. Melihat adalah pencerapan yang berlangsung berangsur-angsur, pertama-tama melalui asosiasi ketimbang menyadari kategori-kategori. Foto-foto Paul adalah upaya untuk menemukan kembali polisemi dari hubungan manasuka atau tak sadar antara benda-benda di keseharian kita.