Semenjak akhir tahun 2015, pasangan asal Indonesia Putud utama (lahir 1991) dan Rara Kuastra (lahir 1992) berkolaborasi sebagai seniman dengan nama TEMPA. Sebagai sebuah tim, TEMPA memaknai proses kekaryaanya-yang berupa lukisan, mural, dan instalasi-sebagai upaya untuk bercerita dan memahami hal-hal yang bersifat mikro untuk mencapai keselarasan atau harmony. Ide mengenai "keselarasan" tidak hanya dimaknai secara sempit, namun juga mencakup narasi sejarah personal yang dapat menjadi pintu masuk untuk menafsirkan peristiwa sehari-hari yang saling berkaitan satu sama lain.
Proses artistik TEMPA banyak dimulai dengan membuat sketsa, gambar, akrilik di atas kertas, dan lukisan digital secara terpisah sebelum menyusunnya ke dalam satu karya yang utuh. Pendekatan ini dianggap mampu membangkitkan pertanyaan tentang apa itu keselarasan, yang kelak banyak dituangkan ke dalam karya yang dekoratif dan naratif menggunakan berbagai media, seperti kanvas, kain, kayu, kuningan, dan alumunium.
Beberapa riwayat pameran TEMPA, antara lain Do You Hear The Invisible Sound?, Art Agenda SEA, Singapore (2023), Art Jakarta, Jakarta (2023), Yogya Young Artist 2022, Jogja Gallery (2022), ARTJOG Expanding Awareness, Jogja National Museum (2022), dan Pekan Seni Grafis Yogyakarta, Kiniko Art (2021). TEMPA juga sempat melaksanakan residensi seni di Rumah Atsiri Indonesia, Tawangmangu pada bulan Januari - Februari 2023 dan pernah mengadakan pameran tunggal Millenial Dopamine di Kedai Kebun Forum tahun 2017.
TEMPA adalah Duo seniman Putud Utama & Rara Kuastra. Kedua-nya bekerja secara kolaboratif dengan narasi sosial dan kultural. Keduanya saat ini bekerja dan tinggal di Yogyakarta.
Capturing Aroma
Keseluruhan karya ini merupakan hasil dari proses Tempa menjalani program residensi seni di Rumah Atsiri Indonesia pada tahun 2023 lalu yang dikembangkan hingga pertengahan tahun 2024 ini. Proses yang terjadi selama program residensi mendorong Tempa untuk masuk dalam narasi sejarah bangsa yang menjadi museum hidup di Rumah Atsiri Indonesia. Menjadi kumpulan tanda dari rangkaian peristiwa atas berbagai pengalaman. Seperti catatan penting terhadap peristiwa penemuan parfum unggulan mereka "1963" dan "1941". Aroma pusaka yang menjadi simbol kesepakatan, kolaborasi, pertukaran ideologi, pengalaman yang melampaui zaman. Aroma hadir sebagai medium yang memediasi struktur imaginasi atas lingkup peristiwa yang lampau dan yang akan datang.
Sensasi panca-indera juga menjadi instrumen observasi Tempa dalam menghubungkan, merangkai, dan mendapatkan informasi. Aroma adalah medium yang rapuh dan efemeral tapi sekaligus mampu membangkitkan tensi yang atmosferik. Aroma bisa menjadi sangat personal dan subjektif, tapi juga hadir sebagai pengalaman estetik yang sensorik. Melalui aroma khas wewangian dari Rumah Atsiri, rangsangan visual untuk melihat dan membaca ulang tulisan dari data-data yang masih tersimpan di Museum RAI. Tidak ketinggalan rangsangan suara sebagai proses mendengarkan cerita lisan dari para karyawan yang digunakan Tempa dalam membangun kerangka cerita yang pada akhirnya memunculkan atmosfer imajinatif, personal, dan subjektif dalam upayanya memahami visi diplomatik Presiden Ir. Soekarno. Perpaduan rangsangan indera penciuman, penglihatan, dan pendengaran dalam merasakan bangunan RAI membangkitkan imajinasi naratifnya. Dengan mengutip seniman Anicka Yi dalam karyanya In Love With The world di Turbine Hall, Tate Modern "-Air is this charged site for social and political discourse," dan "Every breath that we take, we are inhaling the Earth's past...". Di situ Tempa memaknai bahwa ingatan kita tentang penciuman sebuah aroma akan sangat sensitif bagi imajinasi subjektif kita dalam memproyeksikan secara visual aroma tersebut sebagai sebuah representasi yang terbuka untuk pemahaman publik luas.
Rumah Atsiri Indonesia
Mula-mula di tahun 1963 bernama Pabrik Citronella bertempat di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah diharapkan menjadi pabrik penyulingan essential oil terbesar di Indonesia bahkan di Asia. Sebuah langkah diplomasi dalam kerjasama ekonomi Indonesia dan Bulgaria untuk mensuplai pasar essential oil di Eropa, namun kemudian kerja sama ini terputus begitu saja karena kondisi politik di 1965 di mana terjadi pencekalan Partai Komunis Indonesia, sehingga kerjasama pembangunan di era proyek "mercusuar" Presiden Soekarno ini mangkrak dan ditinggal begitu saja tanpa mewariskan pengetahuan tentang operasional mesin dan pengolahan minyak atsiri kepada pekerja Indonesia dari pihak ilmuwan dan insinyur Bulgaria yang pada saat itu langsung kembali ke negaranya. Hingga beberapa kali berpindah kepemilikan sampai pada akhirnya pada tahun 2015 lalu, asset tersebut dibeli oleh Rumah Atsiri Indonesia berkembang dan tidak hanya menjadi pusat produksi essential oil, melainkan menjadi pusat wisata kreatif berbasis ekologi, pendidikan dan kebudayaan serta terus bertumbuh dengan semangat zaman hingga hari ini.