Kolektif seniman yang berbasis di Jakarta dan Bandung ini didirikan pada tahun 2006 oleh Febie Babyrose, Herbert Hans, dan Ruddy Hatumena. Tromarama menciptakan karya dengan menggabungkan video, instalasi, program komputer, dan partisipasi publik. Mereka menaruh ide penciptaan karyanya berdasarkan pengaruh media digital terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat mengenai lingkungan. Melalui bahasa, teks, kecerdasan, dan interaksi, Tromarama merefleksikan landasan kondisi politik dan budaya Indonesia serta bentuk keterlibatan persepsi dalam hiperrealitas kita yang berlaku secara global.
Karya-karya Tromarama telah dipresentasikan di berbagai pameran berskala internasional, baik dalam pameran tunggal ataupun kelompok. Beberapa pameran tunggalnya, meliputi Deep Pressure, Document, Paris+ par Art Basel, Paris (2023), Contraflow, Kiang Malingue, Hong Kong (2023), Beta, DOCUMENT, Chicago (2021), Madakaripura, Edouard Malingue Gallery, St. Saviour Church, London (2020), dan LLIMIIINALL, Edouard Malingue Gallery, Shanghai (2019).
Sementara beberapa pameran kelompok yang pernah diikuti, antara lain Digital Diaries, Julia Stoschek Foundation, Dusseldorf (2023), Public Structures, Kunsthal Charlottenborg Biennale, Copenhagen (2022), MENTAL: Colours of Wellbeing, ArtScience Museum, Singapore (2022), dan NGV Triennial, National Gallery of Victoria, Melbourne (2020). Tromarama juga aktif terlibat dalam beberapa proyek seni, program residensi, workshop, dan pemutaran film.
Pada karya performans berbasis aktivasi ini Tromarama menunjukkan berubahnya definisi dan makna kerja di masa kini. Era ekonomi digital melahirkan ekonomi platform yang berbeda dengan era pra-digital yang lebih mengandalkan tenaga, keterampilan dan kehadiran secara fisik. Model ekonomi mutakhir ini telah mengaburkan batas antara waktu luang dengan jam kerja, hobi dengan profesi, atau bersenang-senang dengan gairah mencari uang. Orang bisa bekerja dengan berbagai platform pada gawai, di mana saja dan kapan pun. Gawai sendiri memiliki makna ganda: pekerjaan dan sarana.
Performans ini melibatkan beberapa pelaku aktivasi. Setiap pelaku mengenakan perangkat haptik seperti jam tangan pintar pada pergelangan tangan mereka. Haptik adalah perangkat lunak yang mengirimkan informasi sentuhan pada pengguna gawai untuk memberikan umpan balik. Perangkat pintar ini memiliki perangkat lunak yang didesain untuk terhubung dan mengambil twit dengan tagar "pleasure". Setiap kicauan diubah menjadi bilangan biner yang bertransformasi menjadi sentuhan haptik atau getaran.
Getaran ini dirasakan tiap pelaku aktivasi yang memegang sebuah biji bekel dan bola yang akan dilempar berulang-ulang, terarah ke dinding maupun lantai. Peristiwa lempar tangkap di dalam ruang pameran ini berlangsung terus tanpa arti, tidak bertujuan, dan niralasan seperti perilaku iseng di waktu luang. Ungkapan "Banting Tulang" bermula dari permainan Bikkelspel atau Bikkelen (Belanda) menjadi "bekel" (Indonesia). Di Belanda, pada awalnya permainan ini menggunakan tulang talus kaki kambing atau domba. Kini "Banting Tulang" kita maknai sebagai kerja keras.
Performans berbasis aktivasi ini mempertanyakan apa makna otonomi seseorang yang berada dibawah otoritas dan kendali sepenuhnya kepintaran teknologi serta bagaimana dampak ekonomi platform terhadapnya? Aktivasi menunjukkan prinsip keberulangan yang digerakkan oleh sekadar motivasi, bukan kemampuan seseorang. Dalam dunia virtual, tampak jelas bahwa sarana menjadi tindakan dan sebaliknya, tindakan adalah wahana.
Durasi setiap aktivasi akan berlangsung selama enam puluh menit