Widi Pangestu (lahir di Bandung, 1993) merupakan seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia mengalami transformasi dari seorang introvert kreatif menjadi 'conversational anthropologist' yang memungkinkannya untuk memahami interaksi rumit antara individu dan kebudayaan. Dalam proses berkaryanya, Widi menggunakan kertas sebagai medium utama melalui teknik pembuatan kertas tradisional (traditional papermaking). Proses pembuatan kertas dengan tangan (hand papermaking) memberikan kesempatan kepada Widi untuk memiliki hak atas material yang ia pakai. Kebebasan ini dimanfaatkan olehnya sebagai upaya untuk melakukan eksplorasi material sekaligus membuka kemungkinan pilihan. Baginya, proses papermaking merupakan medium seni yang fleksibel dan dapat digunakan secara interdisipliner. Sekaligus menjadi bukti fisik atas hubungan manusia dan alam yang selalu berkaitan dengan dimensi waktu.
Widi telah menjalani beberapa program residensi seni, diantaranya Years of Culture, Dialog of Paper Programme, Qatar Museum, Qatar (2023) dan Ricahrd Koh Fine Art Gallery and Blue Art Centre Residency Programme, Seam Reap, Cambodia (2023).Beberapa pameran Widi, antara lain Beneath The Layer, Baik Art Jakarta (2023) dan Beyond Painting, Mizuma Singapura (2022), juga pameran tunggalnya yang berjudul Making Sense of Sense Making, Ace House (2021) dan Everything in Between, Indonesia Contemporary Art Network (ICAN) (2017). Widi juga merupakan Finalis kompetisi UOB Painting of the Year ke-39 pada tahun 2019.
Widi Pangestu menggunakan kertas dan teknik pembuatan kertas tradisional sebagai media utama dalam karya-karyanya. Baginya, mengolah tangan membuka lebar kesempatan untuk mengambil alih kepemilikan atas materinya. Ia menjadi antropolog , menenun relasi antara manusia dan budaya. Baginya, gagasan seni pembuatan kertas yang dihasilkan oleh selembar kertas buatan tangan menjadi dokumentasi serta artefak, dan mengingat bahwa kita adalah bagian dari masa lalu, masa kini, dan masa depan baik melalui bentuk yang mutakhir maupun wujud yang paling primordial. Ia mencoba menelusuri tumbuhan penghasil kertas, yakni bambu.
Saat ini bambu berpotensi sebagai material masa depan dengan pijakan aspek keberlanjutan. Secara teknis bambu merupakan rumput liar, dan terdapat 1.450 spesies yang tersebar dari berbagai biotop, dari daerah tropis seperti Indonesia hingga pegunungan dingin di Tibet. Bambu juga memiliki peranan penting dalam penyerapan karbon sebuah proses penting untuk mengurangi perubahan iklim. Kita kerap menjumpai olahan bambu sebagai media alternatif pengganti kayu dengan alasan yang sama yaitu berkelanjutan, seperti tisu dan kertas yang menggunakan bambu sebagai bahan utamanya. Dalam sejarah praktik pembuatan kertas, kertas menggunakan bahan bambu sudah ada sejak abad ke-8 masehi.
Dari penelusuran yang dilakukannya, ia menemukan beberapa titik penting dalam sejarah yang mewarisi posisi simbolik dari material bambu. Salah satunya sejak Jepang pertama kali membuka diri terhadap dunia pada pertengahan abad ke-19, Kesenian bambu mulai dianggap sebagai sebuah karya seni yang sebelumnya hanya diidentifikasi sebagai benda fungsional. Seperti umumnya seni yang mengakar pada tradisi praktik ini diwarisi dari generasi sebelumnya, Nilai-nilai juga hadir dengan keberagaman simbol khususnya di Asia. Di Filipina mereka mempercayai bahwa pria dan wanita pertama kali muncul dari simpul batang bambu, di China bambu menjadi simbol budaya dan di Jepang menjadi simbol kemakmuran, di Jepang sebagai simbol persahabatan, di Indonesia sendiri bambu menjadi simbol kesederhanaan dan perlawanan.