Romi Perbawa lahir pada 1971 di Kutoarjo (Jawa Tengah). Belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia, Surabaya, fotografi di Canon School of Photography, Jakarta dan kelas khusus Jurnalisme Fotografi di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA).
Au loim fain adalah sebuah proyek fotografi Romi Perbawa untuk menelusuri kehidupan pada pekerja migran Indonesia (2012-2019). Ia keluar masuk jalur tikus perbatasan Indonesia-Malaysia, menghuni di gubuk-gubuk sempit, tempat persembunyian pekerja ilegal di Keningau, Sabah, Malaysia, mengunjungi pabrik dan asrama tempat para pekerja dari Flores, Sulawesi dan Jawa bekerja dan anak-anak mereka tinggal. Jutaan anak PMI (Pekerja Migran Indonesia) tidak memiliki dokumen kependudukan dan tidak bisa memperoleh akses pendidikan formal akibat ketidakpatuhan dan ketidaktahuan terhadap regulasi pemerintah setempat yang melarang pekerja asing membawa keluarganya.
Penelusuran Romi membawanya tiba di tempat Adelina Sau, perempuan muda di bawah umur yang meregang nyawa setelah mengalami penganiayaan keji majikannya di Malaysia. Adelina berasal dari Desa Abi, Oenino, Nusa Tenggara Timur, sebuah daerah yang waktu itu belum dialiri listrik. Ia menyaksikan keluarga Adelina menunggu kedatangan jenazah putrinya yang wafat pada 11 Februari 2018.
Au loim fain adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Adelina sebelum wafat, dalam bahasa ibunya artinya "aku ingin pulang". Penempatan tenaga kerja Indonesia secara resmi mulai dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (1970). Menurut catatan Bank Dunia, ada sembilan juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Tiga perempat di antaranya adalah pekerja berketerampilan rendah.
Foto-foto negatif yang diperbesar seukuran orang seperti karya instalasi menunjukkan para pekerja migran Indonesia dengan status ilegal di Malaysia sedang dalam proses pemulangan ke Indonesia. Tujuan menyamarkan foto-foto ini adalah mengaburkan identitas mereka. Foto-foto pada dinding adalah gambaran mengenai para pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia, di antaranya pekerja di bawah usia, dan foto-foto mengenai para anggota keluarga mereka yang terpaksa ditinggalkan selama bertahun-tahun, seperti di Madura, Flores dan Timor. Keseluruhan karya foto ini adalah upaya untuk menangkap kehidupan penuh tantangan selain cerita sukses yang muncul di sekitar mereka sendiri.
Karya foto dokumentasi adalah analogon yang sempurna dari realitas, tapi imajinya masih mempunyai ruang bagi kode dan retorika yang menjadikannya sebagai seni.