Zico Albaiquni

Zico Albaiquni lahir pada 1987 di Bandung. Belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung dan University of Melbourne, Melbourne, Australia. Melanjutkan studi doktoral dan berkarya di Melbourne.


Lukisan-lukisan Zico dengan warna-warna kontras mencolok digambarkan sebagai "semangat tiada henti". Subyek-subyek lukisannya bersumber dari arsip, gambar temuan, referensi di internet, bertujuan membangun kritik atas representasi kolonial dan situasi pascakolonial di Indonesia. Penggunaan warna-warni cerah seperti neon berwarna diinspirasikan mula-mula dari tradisi lukisan "Hindia Jelita" yang secara romantik melukiskan keindahan bentang alam Kepulauan Nusantara, entitas jajahan.


Zico menulis, ''Gagasan tentang asal-usul membuat saya terpesona. Saya tertarik membayangkan bagaimana segala sesuatu bermula. Namun, nostalgia akan masa lalu telah membawa kita kepada gagasan absurd tentang ''Membuat-hal yang Agung-Kembali'', menciptakan suatu paradoks global. Ketika kita makin terkoneksi secara global, pola pikir kita menjadi semakin kesukuan. Hasrat akan kemurnian mendorong kita berpikir secara radikal tentang asal-usul kita, mencari-cari panduan untuk membenarkan perilaku kita sendiri berdasarkan motif bawah sadar yang rendah. Saya percaya pemahaman datang dari beragam perspektif dan aspek yang bisa diperbincangkan bersama. Meskipun kelihatan kacau, tetapi kita harus menerimanya.''


Keragaman subyek sebagai fragmen-fragmen peristiwa terhubung dalam satu kanvas seperti sebuah teka-teki dalam karya Zico. Guci pecah Ai Weiwei, kursi-nya Kosuth, patung instalasinya Hirschhorn, Pengantin Peranakan-nya, sampai fresko mengenai ''Kebijaksanaan Timur'' dan gambaran seniman-seniman Pelukis Rakyat yang sedang praktik melukis di tempat terbuka muncul dalam sebuah kanvas. Kolase peristiwa ini seakan terperangkap dalam kekacauan sejarah, saling menginterupsi, bertumpang tindih dalam multi-perspektif.


Kehidupan bersama bagi Zico adalah tersebarnya ide-ide yang menyebar tidak secara linier, bisa jadi saling bertabrakan. Meski begitu kebudayaan terus maju pada suatu lintasan.