Surya Adiwijaya

Karya instalasi multimedia ini merefleksikan amalan para pande besi-sebuah motif yang tak hanya melibatkan tenaga fisik, tetapi juga dedikasi dan pemahaman mendalam terhadap bahan dan proses ketukangan yang khas. Tradisi pande besi-kita teringat keris-dan ketukangan di Nusantara pada umumnya terus menerus memudar seiring laju modernisasi produksi alat-alat yang lebih cepat dan mudah. Di masa silam, pekerjaan para pande dianggap adiluhung, mereka dihormati sebagai para empu. Di desa Jodog, Gilangharjo, Kecamatan Bantul, Yogyakarta, misalnya -sentra lingkungan kerja para pande yang Surya Adiwijaya amati-hanya tersisa segelintir empu saja dari sekitar puluhan nama yang pernah berjaya. Inisial nama para empu biasanya dituliskan pada alat ciptaannya. Identitas tersebut pada karya ini sebagai pengingat akan berlangsungnya tradisi panjang keempuan. Surya Adiwijaya sendiri adalah bagian dari trah pande, cucu seorang empu.

Platform hitam berisi arang sisa-sisa kerja para pande besi menandai hadirnya perapen (tungku atau perapian). Akan tetapi perapian tidak hanya bermakna sebatas itu. Di lingkungan atau trah pande, perapen juga tempat pemujaan, karena bagi kalangan tersebut praktik memande mengandung makna ritual. Di atas perapen terdapat berbagai material dari logam seperti mata cangkul, palu, sabit, celurit, dan lain-lain. Bara LED menyala-nyala namun samar di atas perapen menggambarkan belum lekangnya tradisi ini meski makin terpinggirkan. Suara berulang dan bertubi beradunya besi menciptakan pengalaman sensorik dan efek meditatif. Diperkirakan pada 2030 tradisi pande besi di Nusantara akan sepenuhnya punah.
Surya Adiwijaya lahir di Yogyakarta, 1991. Belajar di Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (2009-2011) dan Jurusan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (2018-2023).