Praktik artistik mereka berakar pada hubungan yang intim antara tubuh manusia dan alam-pada ruang, cahaya, dan emosi yang membentuk keseharian. Bagi mereka, ruang bukan hanya struktur fisik, melainkan lanskap batin tempat kenangan dan afeksi saling berkelindan.
Dalam karya-karya mereka, batas antara objek dan tubuh, citra dan kenyataan, terus dinegosiasikan. Lukisan diolah menjadi struktur tiga dimensi yang dapat dialami secara fisik; kanvas digantikan oleh cermin, menjadikan refleksi sebagai bagian dari komposisi. Warna tak hanya melekat pada permukaan, melainkan mengambang dan bersinggungan dengan kehadiran penonton.
Mereka bekerja lintas medium-dari pahatan arsitektural hingga citra bergerak-untuk menciptakan pengalaman yang hening namun dalam, intim namun luas. Alam hadir bukan sebagai latar, melainkan sebagai metafora lanskap psikis: sunyi hutan, kabut, atau gemuruh laut sebagai gema batin yang tak terucap.
Interaksi penonton menjadi elemen penting. Refleksi, gestur, dan kehadiran mereka melengkapi karya. Melalui bentuk eksperimental dan narasi visual yang puitis, mereka mengajak penonton memperlambat ritme dan hadir lebih utuh-dalam ruang, dalam relasi, dan dalam diri.
Represented By:
Supported By: