FX Harsono

FX Harsono menghadirkan kisah tiga penyintas yang pernah mengalami masa kekacauan dalam serangkaian peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di sejumlah kota di Pulau Jawa. Di dalam sejarah Indonesia, masa itu terjadi antara 1948-1949 saat Belanda datang dan melancarkan agresi militernya yang kedua untuk menduduki kembali negeri bekas jajahannya. Pengalaman itu bagi Tjoa Er Ries (86 tahun), Hoo Tjieng Djwan (83 tahun) dan Slamet Sungkie (92 tahun) sungguh traumatis dan tak terlupakan.

Tjoa Er Ries, tinggal di Wonosobo, Jawa Tengah, mengenang saat suaminya diikat dengan pengikat tali bambu, dibawa keluar dan sesudah itu tak pernah pulang kembali ke rumah. Hoo Tjieng Djwan, masih berusia belasan tahun ketika dia dan sejumlah lelaki Tionghoa di desanya dikumpulkan di sebuah lokasi pembantaian yang sudah disiapkan, di dalam pengepungan orang-orang bersenjata senapan, bambu runcing dan pedang. Dia berhasil lari dan menyelamatkan diri di saat-saat paling genting dan meninggalkan Wonosobo, desa kelahirannya. Slamet Sung Kie menuturkan saat ayahandanya suatu hari dibawa pergi dari rumahnya di Blitar, dan hanya mendengar suara tembakan di kejauhan sebagai kabar kematian bagi keluarganya. Modus pembantaian dituturkan Slamet Sung Kie: para lelaki diminta keluar dari rumahnya untuk dibunuh sesudah harta bendanya dirampok.

Melalui motif-motif tuturan ketiga tokoh penyintas ini, FX Harsono menjalin kembali cerita-cerita dalam sejarah kelam dari kalangan minoritas Tionghoa di Indonesia yang cenderung dilupakan. Selama pembuatan video ini, salah seorang dari penyintas yakni Hoo Tjieng Djwan-kemudian berganti nama dengan Noto Utomo-meninggal dunia. Sedangkan Tjoe Er Ries wafat pada 2021.
Represented By:


Supported By:
FX Harsono lahir di Blitar, Jawa Timur, 1949. Studi di Jurusan Seni Lukis, STSRI 'ASRI', Yogyakarta (kini Institut Seni Indonesia, ISI), 1969-1974; lulusan Program Studi Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Kesenian Jakarta (FSRD IKJ), Jakarta, 1991. Penerima Anugerah Adhikarya Rupa, 2014, Prince Claus Award, 2014 dan Joseph Balestier untuk kebebasan seni, 2015.