Pada The Labyrinth I Become, Cagi menempatkan relasi antara imaji dan mata sebagai kontemplasi. Apa itu penglihatan? Apa saja yang kelihatan? Siapa yang melihat? Ia yang dapat melihat apa? Persepsi kita ada di tengah luapan informasi dan banjir visual, terguncang tanpa henti oleh makin lumernya batas-batas antara pengalaman maya dan pengalaman real. Homo digitalis–manusia yang berinteraksi atau ‘bertindak’ di dunia maya–kini tengah mengalami apa yang disebut dekorporealisasi, banalisasi dan disembodiment of the self. Yakni, dengan cukup menggerakkan jempolnya, bertindak seketika atau refleks dan merasa eksis sebagai pengelana global yang mengambang di dalam dunia internet tahap lanjut.
Dalam karya ini, Cagi merunut jalaran inderawi dan gambaran yang tak pernah mati di sana, layaknya lapis-lapis labirin yang terpantul pada bola mata kita. Bagaimana di masa kini, kelindan kehadiran manusia ada di dalam ruang waktu yang anonim sekaligus cepat mengalir atau fluid. Kesan semacam itu memang segera tampak pada tumpukan imaji pada dua bidang lukisannya yang berukuran besar, ‘mentah’, dan analog. Cagi menghadirkan lukisan di dalam lukisan yang di antaranya kita juga melihat hadirnya lukisan yang lain lagi. Konfigurasi bagian-bagian karya ini membentuk imaji sebuah panel kendali. Berbagai citraan pada lukisan dalam lukisan ini dipungut dari pojok jelajah penglihatan dan konsumsi imajerial: sinema, media massa, telusuran media sosial, aplikasi pengoleksi imaji dan gambar-gambar sesaat lainnya. Pada seri ini tekstur ingatan –yang tak terlepas dari persepsi, dan sebaliknya–ditubuhkan kembali dengan cara dilukis, menjadi endapan labirin pada mata.
Syagini Ratna Wulan atau Cagi lahir di Bandung, 1979. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, 2001 dan Magister Studi Budaya, Goldsmiths College, University of London, London, 2005.