ARS LONGA TRILOGIA
Tema Kuratorial ARTJOG 2026-2028
Farah Wardani
Kutipan di atas merupakan aforisme dari filsuf Yunani Kuno Hippocrates, Ars Longa, Vita Brevis, yang secara harfiah berarti “Seni itu panjang, hidup itu singkat.” Ungkapan ini menjadi salah satu pernyataan yang umum diingat dan diungkapkan oleh para pecinta seni dan filsafat, khususnya mereka yang berkecimpung dalam bidang humaniora dan pemikiran tentang eksistensi manusia. Makna mendalam dari aforisme ini mencerminkan kenyataan bahwa sementara hidup manusia terbatas waktunya, karya seni dan pengetahuan yang kita ciptakan memiliki keberlanjutan yang panjang dan mendalam, tak terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman tersebut, judul dan tema ARTJOG 2026–2028 diambil dari konsep ‘Ars Longa Trilogia’, yang berarti “Trilogi Seni Itu Panjang.” Konsep ini berangkat dari interpretasi kuratorial terhadap makna "seni itu panjang," yaitu kepercayaan yang mendalam bahwa seni adalah jalan hidup dan sesuatu yang selalu relevan dalam keberlangsungan manusia. Seni dan para senimannya menemukan relevansinya sesuai dengan perkembangan zaman dan tujuan apapun sepanjang sejarah peradaban manusia. Seni tetap menjadi bagian integral dari kehidupan karena kemampuannya untuk menyesuaikan diri dan memberi makna dalam konteks sosial, budaya, dan politik yang terus berubah dari waktu ke waktu.
Saat ini, kita memasuki era yang oleh para teknokrat disebut sebagai Society 5.0—sebuah konsep masyarakat masa depan yang berlanjut dari Era Informasi. Society 5.0 berpusat pada manusia dan didorong oleh kemajuan teknologi yang mengintegrasikan dunia fisik dan digital untuk memecahkan tantangan sosial sekaligus meningkatkan kualitas hidup manusia. Teknologi di sini dirancang untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan humanistik dengan tujuan mengatasi berbagai masalah besar seperti penuaan penduduk, perubahan iklim, krisis pangan, dan kesenjangan ekonomi. Semua ini dilakukan melalui integrasi teknologi yang mulus ke dalam kehidupan sehari-hari, agar – idealnya – manfaatnya dapat dirasakan secara luas dan adil untuk membawa ke “dunia yang lebih baik”.
Namun, Society 5.0 tidak lepas dari dinamika industri dan kapitalisme global yang sudah berjalan secara sentralistis dan otoritarian. Pandangan ini sejalan dan kadang berselisih dengan pandangan tentang Era Antroposen—periode geologis di mana aktivitas manusia telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi sistem Bumi dan sering digunakan sekarang untuk mengiringi kesadaran ekologis baru dalam gerakan masyarakat dan lingkungan. Dalam konteks ini, manusia tidak lagi sekadar makhluk yang hidup berdampingan dengan alam, melainkan sebagai agen yang mampu mengubah ekosistem secara drastis, dari iklim hingga keanekaragaman hayati. Bahkan, aktivitas manusia di Era Antroposen menempatkan keberlangsungan hidup manusia di ambang kepunahan jika tidak ada perubahan besar dalam pola hidup dan pemanfaatan sumber daya.
Di tengah berbagai pandangan dan tantangan ini, muncul pertanyaan penting: Di mana posisi seni dalam era baru ini? Bagaimana praktik seni akan menemukan makna dan jalan hidupnya di masyarakat yang sedang terbentuk? Pertanyaan ini sangat kompleks dan luas, sehingga seringkali kita kembali mencari pegangan dan rujukan tentang makna serta keberlangsungan seni. Dalam konteks ini, ‘Ars Longa’ tidak lagi sekadar retorika belaka, melainkan sebuah panggilan untuk terus memperjuangkan seni sebagai kekuatan yang mampu menembus batas ruang dan waktu.
Salah satu pemikir kontemporer yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah Pierre Bourdieu (1930-2002). Bourdieu berusaha mengembangkan teori praktik yang mengarah pada cara baru dalam memandang dan bertindak terhadap dunia sosial dan seni. Ia memperkenalkan konsep estetika refleksif yang memicu perubahan persepsi dan kesadaran—sebuah "metanoia", revolusi mental, dan transformasi seluruh visi seseorang terhadap dunia sosial.
Metanoia Bourdieu ini dapat dilihat merambah ke ranah Global Contemporary atau estetika seni kontemporer global yang praktiknya tidak lagi sebatas estetika semata, melainkan juga merefleksikan keadaan sosial, politik, dan kondisi kemanusiaan saat ini—atau yang dikenal sebagai “the human condition.” Postmodernisme, dalam kerangka ini, bukan lagi sekedar “anything goes” atau “art for art sake”. Melainkan, medium seni digunakan untuk membahas isu-isu sosial, mengkritisi kekuasaan, serta menyampaikan komentar sosial secara tajam dan penuh makna. Ini berlaku tidak hanya dalam seni rupa, tetapi juga dalam sinema, musik, dan berbagai bidang seni lainnya.
Saya melihat bahwa visi Bourdieu ini memiliki resonansi bahkan dikritisi oleh pemikir kiri radikal yang baru meninggal dunia, David Graeber (1961-2020). Graeber mungkin merupakan salah satu pemikir terakhir yang relevan dengan kondisi saat ini—baik di Society 5.0 maupun dalam konteks Era Antroposen. Ia memandang bahwa “generasi baru”—yang muncul di Era Informasi, memiliki rasa imajinasi sosial-ekonomi yang diperbarui dan sikap perlawanan terhadap status quo, yang terlihat dalam gerakan seperti Occupy Wall Street. Karyanya, terutama “The Dawn of Everything: A New History of Humanity” (2021) yang diterbitkan pasca kematiannya, mendorong restrukturisasi radikal terhadap imajinasi sosial masyarakat agar mampu memutus pola-pola lama dan membuka jalan bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Dalam konteks ini, praktik seni dan produksi budaya tetap berfungsi sebagai medium penting untuk membongkar dan merekonstruksi imajinasi sosial tersebut, meskipun selama ini sering terkurung dalam logika komodifikasi dan industri.
Diawali dengan mengkritisi karya Christoph Buchel di Venice Biennale 2019, ‘Barca Nostra’, dalam “Another Art World Part 1,2, 3” (2019-2021), Graeber mengkritisi dunia seni yang masih diwarnai oleh warisan Romantisisme—yang menurutnya belum hilang dari dunia seni kontemporer, melainkan tersisa dalam bentuk elemen-elemen elitis dan eksklusif. Ia menyatakan bahwa kita masih memegang keyakinan tentang seniman sebagai individu jenius—gila, tersiksa, dan penuh rahasia—sementara yang sebenarnya hilang adalah kepercayaan bahwa kita semua adalah “seniman”.
Dalam pembacaan saya, Graeber menyebut “seniman” atau “kesenimanan” sebagai sebuah potensi manusia yang harus dihidupkan kembali: Bahwa di masa depan, dalam masyarakat yang bebas dari kekerasan institusional, setiap orang memiliki kapasitas dan peluang untuk menjadi “seniman” dalam kehidupan mereka sendiri. Graeber berargumen bahwa konsep kebebasan yang dulu mendorong gerakan avant-garde kini malah terseret ke dalam logika komodifikasi—bahkan, terkadang kita melihat bahwa logika ini justru menjadi definisi kebebasan itu sendiri. Dunia seni menurutnya tetap merupakan dunia individu-individu heroik—seperti yang diungkapkan Bourdieu—yang meskipun mengikuti logika gerakan kolektif, tetap menyisakan ruang bagi ekspresi pribadi yang penuh makna.
Graeber mengajak kita untuk membayangkan kemungkinan dunia seni yang benar-benar berbeda dari yang selama ini kita kenal. Ia bahkan menyarankan, bagaimana jika para seniman menggunakan kreativitas mereka untuk merancang struktur institusional alternatif terhadap kapitalisme? Seperti apa sebenarnya seni untuk semua, atau masyarakat di mana “kesenimanan” menjadi bagian dari cara hidup, bekerja, dan berorganisasi?
Di akhir ‘Another Art World’, Graeber berjanji akan melanjutkan pemikirannya tentang hal ini. Sayangnya, ia wafat pada tahun 2020, tepat saat pandemi melanda dunia. Saya mengadopsi serpihan-serpihan ide dari kedua pemikir ini—Bourdieu dan Graeber—yang meskipun berbeda konteks dan ideologi, keduanya sepakat bahwa keyakinan terhadap peran seniman dan “kesenimanan” sebagai kekuatan yang selalu ada dan harus selalu ada merupakan bagian inheren dalam kemanusiaan. Peran seniman dalam masyarakat mungkin tidak lagi dimaknai dalam arti ‘heroik’ tetapi bagaimana seniman berkontribusi mendefinisikan ‘imajinasi sosial’ masyarakat sekarang ini, dan di masa depan.
Tentu saja, Bourdieu dan Graeber lebih mewakili perspektif Barat yang sekarang pun sudah mengalami nadirnya . ‘Another Art World’ yang dibayangkan oleh Graeber mungkin sudah terwujud di belahan dunia lain, seperti Indonesia, di mana ARTJOG telah menjadi salah satu arena seni tahunan yang paling penting, sebuah model anomali dari perhelatan seni, murni berawal dan digerakan oleh seniman (artist-driven), dan telah hampir 20 tahun mengakomodir dan mengembangkan energi kreatif di poros kota Yogyakarta – kota yang juga telah membangun sejarah dan citranya sebagai kota budaya – dimana seniman memiliki posisi istimewa sebagai warga. ARTJOG lahir di masa akhir dekade “bulan madu” Reformasi “ tahun 2007 yang mencetuskan beragam inisiasi gerakan masyarakat sipil, dan setelah dua dekade berikutnya, generasi baru pun muncul dan menegaskan keberadaan serta keberlanjutan peran seni dalam kehidupan masyarakat.
ARTJOG sendiri sudah pernah menerawang keadaan politik saat ini di ARTJOG 2014: Legacies of Power . Dengan pergantian kekuasaan, carut-marut dan ketidakpastian, slogan-slogan dan mimpi utopis Indonesia Emas sekarang dipertanyakan oleh Generasi Cemas. Seni seperti kemanusiaan, mungkin tidak kunjung mampu mencapai utopia, namun keberadaannya tetap berperan sebagai alat untuk mencegah, atau menunda dystopia terjadi . Ars Longa, iūdicium difficile—seni itu panjang, dan penilaian itu sulit, tetapi keberadaannya tetap menjadi bagian dari perjalanan manusia dalam menavigasi masa depan yang penuh tantangan.
Dari berbagai refleksi tersebut dalam payung tema Ars Longa Trilogia, dikembangkan tiga sub-tema yang akan digelar selama tiga tahun: Generatio, Legatum dan Mundus untuk ARTJOG 2026-2028.
2026
Ars Longa: Generatio (Generations)
Tema ini membahas makna seni bagi generasi baru serta dialog antar generasi di antara para perupa. Generatio mendorong [pendekatan dialogis, interdisipliner, lintas generasi serta respon artistik yang melampaui wacana dan representasi generasional yang sloganistis, pengkotakan secara hierarkis (Boomers, Gen X, Milennial, Gen Z, Alpha) dan propaganda generasi muda sebagai demografi target pasar dan algoritma yang selama ini berlaku.
Isu-isu yang diangkat mencakup relevansi seni rupa dalam konteks sosial dan kehidupan masyarakat, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Pendekatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana para perupa dari berbagai generasi merespons tantangan dan dinamika sosial-politik yang sedang berlangsung, pembacaan sejarah, serta berbagai perubahan yang ada.
Generatio: Dialogus
Bagian ini mengutamakan dialog antar generasi, atau dialog tentang persoalan generasional yang direalisasikan dalam karya kolaboratif. Gagasannya adalah bahwa dalam ekosistem saat ini, banyak seniman – dari generasi dan cara yang berbeda-beda, tidak hanya membuat karya tapi juga telah meluaskan perannya baik sebagai inisiator gerakan, kurator, pengajar, penggerak ruang atau program seni, dan sebagainya. Perluasan peran ini kemudian juga menempatkan posisi seniman sebagai mentor, kolaborator, pembina, juga mitra dengan jejaring yang mereka bangun, terutama generasi yang lebih muda. Dialogus mengundang beberapa seniman pilihan untuk merespon tema Generatio dengan mengajak satu atau lebih seniman kolaborator untuk menghadirkan karya di ARTJOG 2026.
Generatio: Prāctica
Segmen Prāctica menghadirkan sejumlah karya seniman individu yang mewakili beragam praktik seni dan berbagai isu, wacana serta semangat zaman yang berkembang di generasi terkini, mulai dari dekolonisasi, materialitas, teknologi, ranah digital, sampai ke ekologi, dan persoalan sosial-politik-ekonomi yang membayangi saat ini dan ke depan.
2027
Ars Longa: Legatum (Legacies)
Tema ini berfokus pada terma ‘legasi’ yang bisa berarti warisan dan legasi nilai-nilai seni, budaya, dan wacana yang berkembang dari sejarah seni rupa, warisan budaya, dan heritage, baik di Indonesia maupun dunia. ‘Legasi’ juga bisa dimaknai sebagai apa saja persoalan yang terwariskan saat ini di dunia untuk masa depan dan generasi selanjutnya. Pada edisi ini, bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-20 ARTJOG, akan diselenggarakan pameran khusus yang menampilkan arsip dan sejarah perhelatan ini sejak tahun 2007. Legatum juga akan mengundang kembali para seniman Special Commission ARTJOG sebelumnya sejak 2007.
2028
Ars Longa: Mundus (The Worlds)
Mundus berarti dunia, medan atau jagad, dan dalam hal ini mencoba mengangkat berbagai dinamika dari jagad seni rupa terkini mulai dari Internasionalisme, skena kolektif, subkultur, dan hubungannya dengan gerakan masyarakat merespon isu-isu lokal dan global saat ini. Mundus juga menjadi rangkuman Ars Longa Trilogia yang menunjukkan betapa kaya dan rizomatiknya modus praktik berkesenian sekarang ini dengan tawaran artistik, strategi, dan cara kerja dalam menghadapi dunia saat ini dan ke depan. Sesuai dengan subtema ini, ARTJOG juga berencana untuk mengundang para seniman internasional yang sebelumnya telah terlibat dan berkontribusi di ARTJOG sejak 2007.